JAKARTA (IndoTelko) – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Perubahan UU ITE pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (27/10).
Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, terutama masalah Pasal 27 tentang pencemaran nama baik.
Jika sebelum direvisi maksimal hukuman menjadi 6 tahun, maka setelah direvisi menjadi 4 tahun. Ini agar pelaku tidak bisa langsung ditahan. Substansi lainnya yang direvisi adalah mengatur soal penyadapan. Penyadapan dengan alat apapun, hanya boleh dilakukan oleh institusi penegak hukum. Berikutnya, menambahkan ketentuan mengenai “the right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26.
Dikiritisi
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai ada lima masalah dalam revisi UU ITE. Bagi kedua lembaga ini, revisi itu hanya setengah hati.
Menurut keduanya, pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 Ayat 3 yang memuat ketentuan larangan penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Malah, perubahan itu berpotensi mengancam kebebasan ekspresi. Apalagi, dalam KUHP ada ketentuan yang sama dan mampu menjangkau perbuatan yang dilakukan melalui internet.
Perubahan hukum acara pidana UU ITE juga dinilai memberikan kewenangan yang terlalu luas bagi penegak hukum. Contohnya, Pasal 43 Ayat 3 mengenai penggeledahan atau penyitaan yang harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri dan Pasal 43 Ayat 6 mengenai penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu 1x24 jam disesuaikan dengan ketentuan KUHAP.
Pasal 29 terkait cyber bullying juga dikritik oleh keduanya karena berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan.
Berikutnya, Pasal 40 tentang penapisan konten dan blocking konten juga menambah kewenangan pemerintah. Dalam pasal itu, pemerintah menyisipkan kewenangan tambahan, yakni mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dan memutus akses terhadap informasi elektronik bermuatan melanggar hukum.
Pasal terakhir yang menjadi terkait upaya seseorang untuk menghapus pemberitaan negatif dirinya di masa lalu atau “the right to be forgotten”. Ketentuan ini dianggap menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya kewenangan penapisan konten.
Tak tuntas
Tak hanya dua lembaga di atas yang menyayangkan hasil revisi UU ITE. Bagi pelaku bisnis, melihat revisi ini tak tuntas menjawab persoalan terutama jika memang menginginkan ekonomi digital menjadi tulang punggung perekonomian.
Bagi pemain dan konsumen di UU ITE sendiri isu terkait eCommerce ada di pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi elektronik, dan penyelenggaraan sistem elektronik.
Ini dianggap belum tuntas karena aspek soal kebocoran data, pelanggaran, penipuan,menghimpun data konsumen, belum diatur jelas.
Memang, rencananya akan ada aturan soal perlindungan data pribadi dan Safe Harbor Policy dalam bentuk Peraturan Menteri. Tetapi, menjadi pertanyaan kenapa dua isu ini tak dibawa ke tataran revisi UU ITE yang lalu, sehingga tak bekerja dua kali nantinya, dan kepastian hukum lebih cepat didapat.
Sebuah cara pengelolaan kebijakan publik yang butuh direvolusi.
@IndoTelko