JAKARTA (IndoTelko) – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akan mengumumkan hasil evaluasi terakhir terhadap Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) yang disetor Telkom dan Telkomsel, pada Rabu (2/11) sore.
“Batas waktu bagi DPI Telkom dan Telkomsel besok (Rabu, 2/11) sore. Besok sore kita akan umumkan nasibnya,” ungkap Anggota Komite BRTI I Ketut Prihadi Kresna dalam pesan singkat kepada IndoTelko, Selasa (1/11) sore.
Sekadar mengingatkan, DPI merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi. (Baca: Intervensi pasar dengan interkoneksi)
Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut. (Baca: DPI milik Telkom)
Penyusunan DPI mengacu kepada angka biaya interkoneksi yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika. Terbaru, mengacu pada Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, tanggal 2 Agustus 2016, tentang Implementasi Biaya Interkoneksi Tahun 2016 yang secara rerata biaya interkoneksi turun 26% bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler
Dalam surat edaran itu memuat acuan biaya interkoneksi terbaru dengan Rp204 per menit dari Rp250 per menitnya untuk panggilan seluler lokal. (Baca: Kisruh Interkoneksi).
Telkom dan Telkomsel kabarnya memasukkan DPI dengan tidak mengacu ke SE, tetapi perhitungan sendiri. Kabarnya, dalam perhitungan keduanya, untuk panggilan seluler lokal Rp 285 per menit.
BRTI sudah meminta Telkom dan Telkomsel memperbaiki DPI agar dalam menyusun dokumen sesuai dengan Surat Edaran yang dikeluarkan pada 2 Agustus 2016. Terakhir, Telkom dan Telkomsel mengirimkan surat tanggapan atas permintaan regulator, dan pada Rabu (2/11) ini putusan akan diambil regulator.
“Kita tidak ada toleransi lagi. Sampai saat ini rujukan kami Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi (PM 8 tahun 2006), khususnya Pasal 22,” tegas Ketut.
Merujuk ke PM 8 tahun 2006 dinyatakan setiap perubahan DPI harus mendapat persetujuan BRTI. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap usulan perubahan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan perubahan DPI.
Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan perubahan DPI.
Namun, jika perubahan DPI ditolak oleh BRTI, penyelenggara wajib memperbaiki DPI dimaksud dan menyerahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 10 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI.
Andai persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan DPI.
Penuh intrik
Asal tahu saja, revisi biaya interkoneksi di era Menkominfo Rudiantara bisa dikatakan penuh intrik dan tarik menarik. Operator terbelah dalam dua kubu yakni pro perhitungan simetris (Non Telkom Group) dan Asimetris (Telkom Group). (Baca:Terbelah di Interkoneksi)
Perhitungan simetris dimana biaya interkoneksi dihitung sama rata tanpa membedakan pembangunan jaringan masing-masing operator. Sementara asimetris sebaliknya. (Baca: Heboh interkoneksi)
“Biaya interkoneksi yang ditetapkan secara simetris memunculkan ruang bagi beberapa operator tertentu yang kebetulan memiliki biaya produksi ebih rendah untuk menekan harga serendah-rendahnya sehingga muncul perang tarif. Ini mirip-mirip predatory pricing,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, belum lama ini. (Baca: BRTI dan Interkoneksi)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun melihat biaya interkoneksi yang ada sekarang tidak memberikan rasa keadilan karena banyak operator menggunakan surplus di tarif offnet (lintas operator) untuk mensubsidi panggilan ke sesama pelanggan (on nett).
Surat DJPPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 januari tentang permintaan pendapat terhadap konsep Whitepaper Penyempurnaan Regulasi Tarif & Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006 pada dasarnya mengatur perhitungan interkoneksi secara asimetris.
Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.
Dalam Whitepaper juga dinyatakan data input biaya elemen jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan yang akurat dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.(dn)