Facebook, Twitter dan Google belum lama ini membuat kejutan.
Ketiga media sosial ini mengumumkan akan memperketat peredaran informasi menyesatkan di platform-nya yang bisa memicu kebencian terhadap salah satu kelompok. (Baca: Menentang konten hoax)
Memang, sejak persaingan politik mulai masuk ke media sosial, perebutan mendapatkan perhatian dari netizen seperti menjadi lahan bisnis. Hal ini tak hanya terjadi di Amerika Serikat yang baru saja menyelenggarakan Pemilihan Presiden, tetapi juga di Indonesia sejak Pemilu 2014.
Fenomena yang menarik belakangan ini adalah penyebaran informasi dari portal yang tak bisa dipertanggungjawabkan isinya, dan disebar link beritanya ke media sosial.
Modus yang digunakan biasanya, portal akan mengutip berita dari situs berita mainstream, memotong konten dan memberitakan sepihak. Bisa juga langsung memproduksi konten, lalu menyebarkan artikel tersebut di Facebook, Twitter, Google+ dan berbagai jejaring sosial.
Bagi pemilik asli konten akan dirugikan mengingat mengalami multiplikasi berkali dan tersebar berkali-kali. Jelas pola seperti ini menurunkan profit situs berita yang diambil atau disalahgunakan kontennya karena berkurangnya kunjungan dari pengunjung.
Google telah mengumumkan akan membatasi AdSense di situs web yang menyebarkan konten palsu. AdSense adalah produk Google yang dapat memfasilitasi pengiklan menempatkan iklan barisnya ke jutaan situs web yang terdaftar di jaringan Google. Bagi pemilik situs yang berburu trafik, Adsense adalah mesin uangnya.
Google rencananya akan membatasi penayangan iklan pada halaman yang menggambarkan, salah mengutarakan, menyembunyikan informasi tentang penerbit, isi penerbit, atau tujuan utama dari properti web.
Sedangkan Facebook akan mulai memblokir laman-laman yang menghadirkan informasi atau berita bohong dari Facebook Audience Network. Laman-laman itu tak akan bisa ditampilkan di Facebook lantaran telah dikategorikan sebagai informasi menyesatkan, ilegal atau dianggap sebagai penipu.
Sementara Twitter akan memblokir notifikasi tweet yang memiliki beberapa kata spesifik terkait dengan kebencian dan hoax.
Pelajaran
Jika dilihat dari aksi yang dilakukan tiga media sosial ini, banyak pelajaran yang bisa diambil.
Salah satunya mengenai pemahaman bahwa kita bisa berbuat sebebasnya di dunia maya itu tak benar adanya. Jika selama ini inisiatif dari pemblokiran datang dari pemerintah dan dianggap ikut campur dalam kebebasan berekspresi, sekarang si pemilik platform yang berinisiatif membatasi konten.
Kondisi ini bisa dikatakan dilema bagi pemilik platform. Di satu sisi, jika mereka melakukan pengetatan postingan maka akan kehilangan kepercayaan pengguna, namun di sisi lain jika tidak melakukannya maka ujaran kebencian akan semakin merajalela.
Jika dilihat, solusi yang ditawarkan oleh tiga media sosial ini lumayan unik yakni dengan melibatkan partisipasi aktif dari penggunanya.
Terlihat, ketiganya masih ingin mempertahankan "marwah" platform yang dibuat adalah netral, dengan tujuan awal untuk bertukar ide.
Melibatkan pengguna, sepertinya juga upaya mengedukasi bahwa perlindungan terhadap konten menyesatkan itu sebenarnya datang dari diri sendiri, sedangkan pemilik platform hanya menyediakan fasilitasnya.
Harapan kita, pemerintah bisa mengadopsi pola yang dijalankan Google dan kawan-kawannya ini dalam pengelolaan konten di Indonesia.
Melihat tensi politik yang makin meninggi, sudah saatnya pemerintah lebih sering menjalin komunikasi dua arah dengan semua ekosistem di dunia maya agar penyalahgunaan teknologi yang hanya menguntungkan segelintir orang dan aksi blokir dengan arogan tak terus terulang.
@IndoTelko