International Data Corporation (IDC) baru saja merilis data terbaru tentang industri eCommerce tanah air.
Riset yang dibungkus dengan nama En Route to Digital Economy: What’s Next for e Commerce in Indonesia itu dirilis IDC tak lama setelah pemerintah mengumumkan peta jalan eCommerce nasional sebagai salah satu paket kebijakan ekonomi. (Baca: Riset IDC)
Dalam peta jalan versi pemerintah, dipasang cita-cita setinggi langit untuk bisnis eCommerce. Pada 2020 bisnis dagang online ini diprediksi pemerintah akan memiliki valuasi US$130 miliar.
Namun, dalam versi IDC statistik baru disodorkan dan membuat kening berkerut. IDC memulai perhitungan dengan memberikan terlebih dulu batas yang jelas tentang eCommerce.
Dalam versi IDC, pasar eCommerce ditetapkan oleh nilai moneter derivasi dari transaksi antara entitas pure-play e-commerce atau yang dikenal dengan nama perusahaan online murni. Nilai transaksi ini kemudian dihitung terhadap nilai pasar e-commerce secara keseluruhan, mengingat toko online tak hanya bertidak sebagai saluran baru dari toko offline.
Dari definisi tersebut, IDC memperkirakan nilai transaksi Indonesia dari segmentasi pure-play e-commerce mencapai US$145juta pada akhir 2015 dan mencapai US$200 juta pada akhir 2016.
IDC memperjelas pasar pure-play eCommerce yang ada di Indonesia kedalam tiga kategori. Pertama, transaksi penjualan dengan pure-play perusahaan eCommerce. Kedua, transaksi penjualan dengan perusahaan pure-play eCommerce yang mencakup barang milik, pengiriman dan toko pihak ketiga serta tempat jual beli. Ketiga, jumlah pasar eCommerce yang mencakup pure-play, situs jual-beli, situs perjalanan dan perusahaan offline-2-online (O2O).
Jika nilai pasar ketiga kategori tersebut digabungkan, IDC memprediksi di Indonesia nilainya akan mencapai US$8 miliar pada akhir 2016.
Tak puas membantah dari sisi definisi, IDC juga menunjukkan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tak linear mendongkrak transaksi eCommerce.
Dalam survei IDC, menemukan hanya 13,3% pengguna Internet yang membeli barang melalui platform digital dengan pengeluaran rata-rata per bulan mencapai US$50. Sementara, sisanya memanfaatkan Internet untuk berkomunikasi, media sosial dan hiburan.
Alhasil, IDC menyatakan untuk transaksi pada 2020 di kategori pure eCommerce sebesar US$578 juta, kategori total eCommerce termasuk marketplace dan consignment US$1,8 miliar, dan kategori upliftment value US$21,046 miliar.
Realistis
Jika dilihat paparan dari IDC, memang lebih realistis ketimbang angka yang disajikan pemerintah. Pasalnya, realita dilapangan pengeluaran Teknologi Informasi (TI) di Indonesia sendiri hanya bernilai US$ 15 miliar sepanjang tahun 2015.
Selain itu tidak ada inovasi apapun yang dilakukan eCommerce di Indonesia. Industri ini hanya memindahkan toko offline mereka ke toko online, tanpa sebuah hal baru yang diciptakan di dunia online.
Belum lagi sistem perdagangan offline to online di Indonesia hanya merupakan stategi pemasaran atau channel penjualan yang baru. Perdagangan online bukanlan sebuah toko online yang nyata dengan ketersediaan barang hanya milik toko online. Di Indonesia O2O dinilai sebagai stategi baru. Bukan transformasi digital secara utuh.
Apalagi, fakta di industri saat ini menyatakan bahwa tidak ada bisnis online di Indonesia yang dapat disebut sebagai eCommerce sepenuhnya. Semua yang tersedia di internet hanya market place, dimana kepemilikan barang dimiliki pihak ketiga, atau distributor atau bahkan milik induk usaha yang bergerak di toko offline.
Tetap yakin
Hal yang menarik menyimak reaksi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atas data yang disajikan IDC.
Kominfo tetap menyakini target valuasi yang ada di peta jalan eCommerce akan tercapai, bahkan meleibih dari yang ada di atas kertas. Keyakinan Kominfo karena nantinya semua transaksi akan melewati platform digital.
Kominfo makin yakin pada target yang dipasang pemerintah karena pada 2020 sekitar 75% orang dewasa (rentang umur 15 tahun ke atas) di Indonesia masuk dalam sistem keuangan atau perbankan.
Kominfo pun tak menyetujui jika layanan transportasi in demand service seperti Grab dan Go-Jek tak dihitung sebagai aktifitas eCommerce. Dalam pandangan Kominfo, ridesharing melakukan perdagangan jasa sehingga layak dianggap eCommerce.
Asal tahu saja, dalam kalkulasi App Annie pertumbuhan pasar aplikasi di Indonesia sangat luar biasa dalam dua tahun terakhir. Terlebih setelah melihat sukses aplikasi ridesharing Go-Jek dan sejenisnya.
Dibanding 2 tahun lalu, pertumbuhan pasar aplikasi di Indonesia mencapai 85%, global lebih dari 100%. Dalam 2 tahun terakhir, waktu yang dihabiskan di aplikasi belanja tumbuh 530% dan aplikasi transportasi atau ride sharing 1650%.
Lantas apa pelajaran yang bisa diambil dari paparan diatas? Ada pepatah berkata, statistik tak pernah bohong. Tetapi ada juga yang bilang, jika Anda ingin mendengarkan "White Lie" gunakanlah statistik.
Bagi kami tak ada yang benar atau salah dalam membaca data versi IDC atau opini pemerintah. Tetapi sebagai pelaku bisnis mungkin ada baiknya kita mewaspadai gelembung dari bisnis eCommerce yang memang terlalu cepat membesar di Indonesia.
@IndoTelko