Aplikasi OTT makin merajai jaringan operator

Dimitri Mahayana (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Aplikasi yang dihadirkan oleh pemain Over The Top (OTT) makin merajai jaringan operator dan menjadi salah satu katalis pertumbuhan industri telekomunikasi informatika (telematika) di Indonesia selama tahun 2016.

Survei yang dilakukan Sharing Vision dengan judul “Digital Lifestyle & eChannel” menemukan aplikasi populis semacam Gojek, Uber, media sosial, hingga pesan instan WhatsApp, telah mendorong segmen terbawah masyarakat terbiasa bahkan sudah tak terpisahkan dari penggunaan paket internet dan data.

"Dua kali survei yang kami lakukan menemukan betapa lekatnya aplikasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia," ungkap Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana, kemarin.

Mengutip hasil survei menunjukkan pilihan utama sarana transportasi publik yakni sebesar 41% melalui ojek dan taksi online via aplikasi, 38% (ojek/ taksi/angkot/ transjakarta konvensional), dan 21% (reservasi taksi/ojek via telepon).

Kemudian media iklan/info produk yang paling berpengaruh dalam membeli produk atau layanan diperoleh 67% melalui browsing dan klik iklan online, 23% (iklan di media konvensional, serta 10% (iklan di layanan pesan singkat/SMS).

Soal menonton film. 42% responden dalam jawaban terbukanya menyatakan menonton video atau film melalui internet baik situs gratis atau berbayar, 30% membeli DVD atau menonton tv kabel, dan tinggal 28% yang datang ke bioskop.

Sedangkan untuk eCommerce ada 93% responden mengaku pernah berbelanja online serta 70% diantaranya pernah melakukan booking online. Situasi ini sejalan dengan perubahan prilaku penggunaan telepon cerdas yang jarang untuk komunikasi suara.

Responden dalam jawaban terbukanya mengaku terbanyak menggunakan gadget, terutama smartphone untuk chatting sebesar 76.2%, browsing (62.9%), media sosial (59,4%) sehingga aplikasi menjadi keseharian.

Evaluasi 2016
Apakah kian tingginya pamor aplikasi berbuah positif ke kinerja operator?

Data Sharing Vision menunjukkan, pendapatan tiga operator seluluer terbesar Indonesia dari SMS dan telepon menunjukkan penurunan sejak 2013 lalu.

Pada 2013, rata-rata operator mendapat pendapatan 37% dari telepon. Kemudian menurun menjadi 36% pada 2014 dan terakhir 35% pada 2015. Selanjutnya, pendapatan dari SMS juga menurun dari 17% di 2013 dan 2014, menjadi 16% pada 2015.

Memang, pendapatan dari data naik dari 14% pada 2013, lalu 18% pada 2014, hingga 22% pada 2015. Tapi perlu diingat bahwa investasi modal untuk membangun infrastruktur data tak murah.

“Data kami juga menunjukkan pertumbuhan pendapatan total rata-rata operator cenderung linear sejak 2008 lalu. Persentasenya kenaikannya cuma 1,65% dari tahun ke tahun (YoY), itu pun disokong pendapatan data dari OTT. Pengguna jasa operator selular sudah melebihi penduduk Indonesia, jadi sudah sulit tumbuh lagi. Bisnisnya sulit berkembang karena ada perang tarif," kata Dimitri.

Sebaliknya, di sisi lain, pendapatan rata-rata OTT memang belum sebesar operator telekomunikasi, tetapi pertumbuhannya bersifat eksponensial. Persentase kenaikannya mencapai 24,4% YoY sejak 2008 lalu.

"OTT pertumbuhannya dari tahun ke tahun bisa melejit padahal belum maksimal garap pasar. Apalagi seperti Google yang layanannya banyak dan dipakai orang. Jadi mereka masih terus tumbuh," sambungnya.

Outlook 2017
Situasi itu membuat seluruh fenomena pada tahun ini akan semakin menguat pada tahun 2017 mendatang. Yang pada akhirnya, seluruhnya akan mengerucut pada proyeksi puncak eCommerce, travel online, dan transportasi online terjadi pada tahun 2025 mendatang.

“Makin banyak pelaku yang menyediakan metode pembayaran via virtual account. Bahkan online shop seperti Tokopedia dan Gojek sudah gencar memberikan promosi agar user menggunakan payment sistem mereka, seperti GoPay untuk layanan Gojek,” katanya.

Skema modern tersebut, yang diimbangi performa handal dan kemampuan memahami pasar, membuat eCommerce lokal menunjukkan performa digital lebih baik. Seperti ditunjukkan  Tokopedia dan Bukalapak yang bisa melewati ranking Amazon, Alibaba, dan eBay di Indonesia

Hal ini menimbulkan fenomena baru ketika valuasi penyedia layanan e-dagang nasional bahkan mampu melewati valuasi industri yang sudah mapan. Jika tahun lalu terjadi di sektor tranportasi, maka sangat mungkin terjadi pada sektor lainnya pada tahun 2017.   

“Demikian pula dengan perkembangan layanan financial technology (fintech) yang bisa terus berkembang.  Survey terakhir kami mencatat 13% responden mengetahui atau pernah mendengar tentang fintech, dan 7% responden pernah menggunakan,” katanya.

Sekalipun terjadi kenaikan tajam dari para penyedia OTT tersebut, akan tetapi valuasi dan pendapatan mereka relatif masih di bawah operator telekomunikasi. Namun kondisi akan berubah dalam lima tahun ke depan dengan diawali pada 2017 ini.

Rekomendasi
Sharing Vision memberikan dua rekomendasi utama terkait kepentingan industri telematika nasional tahun depan. Pertama, operator seluler harus bersinergi dengan para OTT dengan dimediasi pemerintah lewat regulasi sehingga tercipta keseimbangan.

Salah satu caranya adalah membuat paket bundle data dengan harga tetap untuk akses OTT. Mekanisme ini sudah dilakukan beberapa operator, misalnya Indosat dengan Spotify serta XL dengan Yonder.

“Cara lainnya adalah operator menjual data ke pengiklan melalui OTT, dan OTT kemudian diwajibkan menumpang infrastruktur operator. Bentuk sinergi lainnya bisa dibahas asal ada dibangun komunikasi antara OTT, operator, dan pemerintah,” katanya.

Ruang komunikasi ini penting karena selama ini, regulasi pemerintah terhadap operator telekomunikasi sangat banyak. Mulai dari biaya lisensi, Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, BHP pita spektrum, PPN, PPh, USO, tarif interkoneksi, layanan pelanggan, dan banyak lagi.

Di sisi lain, kata Dimitri, pemain OTT tak diikat seketat hal tersebut. Mereka tak harus membayar lisensi, perizinan, tidak harus bayar pajak (bahkan banyak yang mangkir), termasuk tak memberi layanan optimal pelanggan, sehingga bea operasional lebih ringan.

Jika terus dibiarkan tanpa regulasi ketat dan tegas, maka boleh jadi OTT ke depan bisa membeli operator seluler. Sinyalamen kesana sudah ada seperti Google yang membeli sejumlah perusahaan perangkat keras hingga jaringan virtual. Dan ini berbahaya karena informasi nanti satu sumber.

Kedua, hapuskan wacana tidak ada kewajiban membangun data center. Beberapa waktu lalu, Menkominfo dan Dirjen Aptika Kominfo mewacanakan OTT tak perlu membangun data center sehingga ketimpangan makin besar.

“Justru di mata saya, data center menjadi salah satu komponen penting agar OTT tak bisa berkelit dari regulasi, terutama pajak seperti selama ini. Sebab, semua transaksi online otomatis terekam dan tak bisa disangkal mereka,” katanya.

Apalagi, regulasi terkait sejak lama sudah ada dan tak bisa diingkari. Sebagaimana sudah benar diatur dalam Pasal 17 Ayat 2 PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), "Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya."

Untuk itulah, sambung Dimitri, perusahaan-perusahaan OTT dengan basis pengguna besar seperti Google, Facebook, dan WhatsApp, seharusnya menjadi layanan internet yang paling pertama diminta berkomitmen membangun data center.

"Peta arahnya harus jelas dilakukan pemerintah. Pada 2017 nanti, itu harus siapa yang dikejar lebih dulu untuk membangun bangun data center di Indonesia. Jangan terus ada kecemburuan sosial karena tidak baik buat iklim usaha,” pungkasnya.(id)