JAKARTA (IndoTelko) - Regulasi yang mengatur industri seluler dinilai belum bisa mengikuti dinamika yang terjadi di bisnis Halo-halo tersebut.
"Industri ini sangat dinamis, sementara regulasinya tidak. Saran saya, revisi UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan atau segera sahkan Perubahan PP Nomor 52 dan 53 tahun 2000," kata Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio dalam sebuah diskusi, kemarin.
Menurutnya, pemeirntah harus dapat melindungi dan melayani kebutuhan publik serta dapat menciptakan iklim usaha telekomunikasi yang penuh kepastian agar produk-produk kompetitif.
"Persoalan kebijakan publik semestinya tidak berpihak dengan dalih nasionalisme karena notabene tidak ada operator telekomunikasi seluler yang dimiliki Indonesia," kata Agus.
Disarankannya, agar aturan yang mengatur bisnis telekomunikasi itu dapat berjalan dengan baik bahwa perlu ada koordinasi antar kementerian/lembaga dengan implementasi melalui sistem online sehingga menekan kebijakan dapat transparan dan akuntabel.
Pada kesempatan sama, Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono mengungkapkan saat ini hanya ada tiga operator yang dominan menguasai pangsa pasar industri seluler mencapai 80%.
Menurut Nonot, salah satu regulasi industri telekomunikasi yang mengatur pola persaingan usaha serta pengembangan industri telekomunikasi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi , dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Diingatkannya, perkembangan teknologi baru seperti 5G, Big Data, IoT, Video Live Streaming hingga Smart City, tentunya membutuhkan kapasitas data dan spektrum telekomunikasi yang memadai.
"Operator tentunya harus bersinergi mendukung ekosistem digital. Selain itu, pemerintah harus lebih luwes dalam menata kebutuhan spektrum telekomunikasi agar potensi digital dapat didukung oleh infrastruktur yang mumpuni," kata Nonot.
Diprediksiya, adopsi 5G baru bisa diterapkan oleh sejumlah operator pada 2020 mendatang. Itu pun baru adopsi, belum penerapan secara utuh karena penyebaran infrastruktur broadband belum merata. "Kebanyakan infrastruktur seperti BTS di Indonesia itu ukurannya kecil-kecil. Belum lagi minimnya penyebaran jaringan yang diperkuat Fiber Optic," katanya.(tp)