JAKARTA (IndoTelko) - Rencana pemerintah untuk memantau secara ketat konten yang beredar di media sosial mendapat sorotan tajam dari salah satu Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2016 untuk bidang Politik dan Keamanan yang diunggahnya melalui akun Twitter @Fadlizon pada 30 Desember 2016 dinyatakan rencana pemerintah untuk memantau berbagai platform media sosial bisa mengancam demokrasi.
"Negara jangan sampai menjadi mata-mata bagi warganya. Itu memundurkan demokrasi kita. Sebab, hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan dijamin oleh konstitusi. Begitu pula hak berekspresi di depan umum, hak berkumpul dan berserikat, adalah hak setiap warga negara,” tulisnya.
Disarankannya, terkait penggunaan media sosial yang kian massif, hal yang perlu diatur adalah bagaimana provider telekomunikasi, misalnya, tak sembarangan menjual nomor atau sim card, sehingga orang bisa mudah menyalahgunakannya untuk kepentingan yang melanggar kepatutan dan bahkan hukum, seperti menciptakan identitas dan akun-akun palsu.
Diakuinya, berita-berita hoax dan informasi tanpa klarifikasi kini memang mudah beredar secara massif di media sosial dan aplikasi chatting, namun yang harus dilakukan oleh pemerintah bukanlah melakukan sensor atau pembatasan informasi, melainkan pendewasaan dan pencerdasan publik.
"Kita tak bisa melawan teknologi. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menggunakan teknologi secara bertanggung jawab," sarannya.
Menurutnya, ancaman kemunduran demokrasi juga ditandai oleh begitu mudahnya aparat keamanan melemparkan tuduhan makar terhadap para aktivis. Penangkapan dengan tuduhan makar, tanpa bukti yang kuat, adalah praktik rezim otoritarian yang dapat mengganggu demokrasi. “Negara tak boleh menakut-nakuti warganya. Jangan sampai hukum menjadi alat politik pemerintah apalagi alat kekuasaan," tegasnya.
Dikatakannya, pemerintah mungkin telah keliru dalam membedakan antara keamanan negara, keamanan rezim, serta keamanan sosial. "Jangan sampai hanya karena media sosial yang kerap digunakan mengkritisi pemerintah, lantas itu dianggap bisa mengganggu keamanan negara," pungkasnya.
Hal senada juga dilontarkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Roy Suryo dalam pesannya yang mengingatkan saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, yang bersangkutan kerap mendapat kritikan bahkan kerap berujung pada bully di media sosial.
“SBY menerima kritikan yang berasal dari rakyat dan tidak sampai menerbitkan kebijakan untuk membela diri. Di era keterbukaan informasi, sekarang ini tentunya diperlukan kedewasaan berpikir dan memberikan kebijakan. Masyarakat Indonesia yang sudah cerdas bisa menilainya sendiri," kata Roy.
Menurut Roy, jika pun ada informasi bohong yang diterbitkan di media online ataupun di jejaring sosial, pemerintah bisa menggunakan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sudah disempurnakan.
"Sebaiknya presiden fokus saja ke tupoksinya. Karena mulai 2017, Indonesia makin merasakan dampak situasi global akibat sosial, ekonomi, politik, pertahanan mancanegara yang mengalami perubahan konstelasi besar. Daripada malah makin banyak kritikan yang bisa-bisa disalah persepsikan dengan sikap anti kritik pemerintah,” tukasnya.
Sebelumnya, pemerintah mengaku akan memperketat konten yang beredar di media sosial karena terlalu banyak berita bohong (hoax) yang meresahkan masyarakat. (Baca: Hoax di Medsos)
Pemerintah bahkan tengah mengkaji sanksi atau denda bagi penyedia platform media sosial yang tidak bisa memfilter berita atau informasi bersifat kebencian, provokasi, dan hoax atau fitnah.(id)