Potensi Hoax justru besar dari pemerintah?

ilustrasi

JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah telah mengangkat “kapak perang” melawan berita palsu alias Hoax di media sosial.

Aksi kongkrit telah dilakukan melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan memblokir sejumlah portal yang dianggap berisikan konten ilegal. Tak cukup sampai disitu, Badan Siber Nasional (Basinas) pun tengah dipersiapkan untuk diluncurkan pada bulan ini.

Ditengah menggebunya langkah pemerintah bereaksi terhadap dinamika di dunia maya, sebuah sentilan  menarik dilontarkan Anggota Komisi I DPR RI Sukamta kala menjadi pembicara di salah satu diskusi pada Sabtu, (7/1).

“Potensi hoax terbesar itu justru dari pemerintah. Kalau jaman dulu salah satu pengendali masyarakat itu adalah mengontrol informasi. Pemerintah memiliki akses ke semua (informasi) itu dan membuat seragam. Nah, kalau sekarang itu, perilaku pemerintah yang tak memuaskan bisa menjadi potensi hoax dalam fenomena masyarakat menjadikan dirinya media,” ungkapnya.

Dicontohkannya, kasus isu Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok dimana tak seragamnya soal isu jumlah dan pernyataan dari masing-masing pejabat negara. Akhirnya, karena merasa tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pemerintah, masyarakat melakukan komplain dengan caranya di media sosial karena di media mainstream tak mendapat saluran.

“Saat ini masyarakat sedang berdaya, jangan langsung ditindas. Pemerintah kalau perbaiki diri, bekerja benar, semua akan aman. Hoax ini hal yang normal ditengah masyarakat demokrasi yang berproses dewasa,” tukasnya.

Dalam pengamatannnya, pemanfaatan media sosial menjadi sarana “perang informasi” terutama untuk kepentingan politik mulai terjadi sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012 dan makin massif kala Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. “Saya cermati awalnya iseng, tetapi kesini makin mengeras dan akhirnya semua mengeluh (dampak hoax),” katanya. (Baca: Melawan Hoax)

Pada kesempatan sama Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon mengatakan dalam melihat Hoax jangan menggunakan subyektifitas. “Harus ada uji dulu. Kalau memang sudah firm, tegakkan aturan, blokir, bawa ke ranah hukum. Jangan ada ruang bisa dibuka lagi. Kalau sudah blokir itu zero mistake,” tegasnya. (Baca: Represif di Medsos)

Disarankannya pemerintah lebih rileks menghadapi fenomena di dunia maya karena dulunya netizen memiliki andil membawa rezim sekarang untuk berkuasa. “Kenapa sekarang kesannya memusuhi?. Sampai ada Ratas membahas khusus medsos. Harusnya rileks sajalah,  sepanjang itu interaksi sosial bukan mengancam kedaulatan negara,” tutupnya.(id)