JAKARTA (IndoTelko) - Sekretariat Kabinet Republik Indonesia menegaskan tidak pernah ada perintah atau instruksi penyadapan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena ini bagian dari penghormatan kepada presiden-presiden yang ada.
"Tidak pernah ada perintah atau instruksi penyadapan kepada SBY," tegas Seskab Pramono Anung seperti dikutip dari laman Setkab.go.id (1/2).
Namun demikian, Seskab menolak menanggapi peristiwa yang terjadi dalam sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (31/1) kemarin, karena dirinya memang tidak ingin menanggapi apapun karena itu bagian dari materi persidangan.
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara belum mengetahui mengenai isu penyadapan telepon terhadap mantan presiden SBY dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai NU Ma'ruf Amin.
"Saya belum tahu isu-nya, bagaimana saya mau komentar," kata Rudiantara
Dijelaskannya, jika pemerintah tidak melakukan penyadapan secara sepihak, kecuali jika melibatkan beberapa institusi dan kasus hukum, yang telah diatur dalam UU.
"Kalau itu kasus hukum, bisa dicek ke operator telekomunikasi. Kalau penyadapan itu hanya bisa dilakukan berdasarkan UU. Contohnya KPK dan BIN, itu yang diperbolehkan dalam UU untuk merekam percakapan. Kalau saya harus menyelidiki, harus kasus hukum dulu itu. Jika direkam tanpa mengacu UU kemudian dijadikan barang bukti di pengadilan, itu tidak bisa dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya, isu adanya bukti percakapan antara Ketua Umum MUI KH. Ma'ruf Amin dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul di pengadilan Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di pada Selasa (31/1).
Sejumlah penggiat telekomunikasi mempertanyakan masalah ini karena penyadapan bukan oleh aparat penegak hukum melanggar pasal 40 UU Telekomunikasi No.36 1999 dimana sesuai pasal 56 ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun. (Baca: Panas isu penyadapan)
Sedangkan SBY sendiri dalam konferensi pers yang digelarnya menyatakan jika memang ada rekaman, transkrip atau bukti percakapan antara dirinya dengan KH. Maruf Amin tanpa perintah pengadilan, itu namanya penyadapan ilegal atau spying. "Dari aspek hukum masuk, dari aspek politik juga masuk," katanya.
Diingatkannya, Political spying itu kejahatan yang serius, dinegara manapun juga. "Saya ingin mencari dan mendapatkan keadilan, apa yang sesungguhnya terjadi. Karena kalau betul-betul telepon saya selama ini disadap secara tidak legal, belum lama kurang lebih satu bulan lalu, sahabat saya tidak berani terima telepon dari saya, karena diingatkan oleh orang dekat istana, hati-hati nanti disadap. Salah saya apa? Mantan Presiden diamankan oleh Paspampres. Yang diamankan adalah orangnya. Kalau betul-betul disadap, maka segala macam pembicaraan, strategi, akan diketahui oleh siapapun, dan mereka akan mendapatkan manfaat politik tentang seluk beluk strategi dari lawan politiknya," jelasnya.
Menurutnya, dalam Pilkada, penyadapan seperti ini dapat membuat calon menjadi kalah, karena pasti diketahui strateginya. "Kita punya UU tentang ITE. Disitu dilarang siapapun melakukan penyadapan secara ilegal, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 800 juta," katanya.
Dikatakannya, konstitusi yang dimiliki Indonesia sama dengan negara lain, melarang penyadapan ilegal. "Saya memohon, kalau memang pembicaraan saya kapanpun, saya berharap pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai UU ITE. Saya hanya mohon itu, supaya rakyat bisa mendapatkan keadilan. Dan mulai saat ini saya akan memantau proses hukumnya, karena ini bukan delik aduan. Persamaan hukum adalah hak konstitusional rakyat," tegasnya.
Pada kesempatan itu SBY meminta agar transkrip percakapan saya yang katanya dimiliki oleh tim kuasa hukum Ahok, bisa didapatkan, karena khawatir percakapannya bisa ditambah atau dikurangi, yang tentu akan berubah dari isinya seperti apa.
"Kalau yang yang menyadap ilegal adalah tim pengacaranya Pak Ahok atau pihak lain, saya minta diusut, siapa yang menyadap itu. Ada lembaga Polri, BIN dan juga Bais TNI, itulah institusi negara yang memiliki kemampuan untuk menyadap. Pemahaman saya, penyadapan tidak boleh sembarangan, harus berdasarkan aturan UU. Tetapi kalau misalnya yang menyadap bukan Pak Ahok, tetapi lembaga lain itu, maka hukum harus ditegakkan. Harus diketahui siapa yang menyadap, Supaya jelas, karena yang kita cari adalah kebenaran. Kalau saya yang dikawal paspampres saja bisa disadap, bagaimana dengan rakyat yang lain," tegasnya.
"Kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah, dengan penjelasan saya ini, berangkat dari pernyataan pihak Pak Ahok yang memegang transkrip atau apapun, saya nilai itu adalah sebuah kejahatan karena itu adalah kejahatan ilegal. Bola sekarang bukan pada saya, bukan di KH. Maruf Amin, atau di pihak Pak Ahok, tetapi bola ada di tangan Polri dan para penegak hukum lain. Dan Kalau penyadapan dilakukan oleh institusi negara, bola ada di tangan oleh Pak Jokowi," pungkasnya.(id)