JAKARTA (IndoTelko) – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengeluarkan pernyataan lumayan keras terkait terus bergulirnya isu penyadapan terhadap mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Saya bilang, siapa lembaga negara yang lakukan itu? Gak ada kan? Kayak kurang kerjaan aja. Lagian itu kan timbul (isu penyadapan) di pengadilan, selesaikan di pengadilan dong,” ketus Pria yang akrab disapa RA itu usai menghadiri acara “Grab 4 Indonesia”, kemarin.
Diakuinya, penyadapan bisa dilakukan tetapi sesuai aturan. “Ada aturannya, misal oleh Badan Intelijen Negara (BIN) atau KPK. Namanya lawfull interception. Bahkan operator pun biasanya tak tahu itu. soalnya seamless,” tukasnya.
Sementara itu, Badan Intelijen Negara (BIN) dalam rilis resmi yang dikeluarkan Deputi VI BIN menegaskan informasi penyadapan terhadap SBY dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin bukan berasal dari lembaga tersebut.
Selain itu juga disampaikan, bahwa informasi adanya penyadapan, menjadi tanggung jawab Ahok dan kuasa hukumnya. Ini karena Ahok dan kuasa hukumnya tidak menyebutkan secara tegas apakah komunikasi itu dalam bentuk verbal secara langsung atau percakapan telepon yang diperoleh melalui penyadapan.
Ditegaskan BIN, berdasarkan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN merupakan elemen utama dalam sistem keamanan nasional untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI.
Dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya, BIN diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Namun penyadapan yang dilakukan hanya untuk kepentingan penyelenggaraan fungsi intelijen dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan, dan kedaulatan NKRI yang hasilnya tidak untuk dipublikasikan apalagi diberikan kepada pihak tertentu.
Sebelumnya, isu adanya bukti percakapan antara Ketua Umum MUI KH. Ma'ruf Amin dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul di pengadilan Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1).
Beberapa penggiat telekomunikasi mempertanyakan masalah ini karena penyadapan bukan oleh aparat penegak hukum melanggar pasal 40 UU Telekomunikasi No.36 1999 dimana sesuai pasal 56 ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun. (Baca: Hukuman Penyadapan)
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia menegaskan tidak pernah ada perintah atau instruksi penyadapan kepada SBY, karena ini bagian dari penghormatan kepada presiden-presiden yang ada.
Walau bantahan sudah ramai dari pejabat pemerintah, namun media sosial makin panas membahas isu ini. Hal yang menjadi sorotan adalah dari Tim Pengacara Ahok bisa menyebutkan Time log dari pembicaraan antara SBY dan KH. Ma'ruf Amin yakni tepat pada 6 Oktober 2016 pukul 10.16 WIB dan isi pembicaraan yang intinya membahas dua hal yakni mengatur pertemuan Pasangan Calon Agus Harimurti Yudhoyono-Syalviana Murni bisa datang dan diterima di kantor PBNU oleh pengurus dan membuatkan fatwa MUI untuk masalah penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
SBY sendiri mengakui ada pembicaraan telepon dengan KH. Ma'ruf Amin tetapi melalui telepon yang dimiliki salah satu stafnya pada waktu yang disebutkan Tim Pengacara Ahok. Namun, SBY meminta agar transkrip percakapan bisa didapatkan, karena khawatir percakapannya bisa ditambah atau dikurangi, yang tentu akan berubah dari isinya seperti apa.
"Kalau yang menyadap ilegal adalah tim pengacaranya Pak Ahok atau pihak lain, saya minta diusut, siapa yang menyadap itu. Ada lembaga Polri, BIN dan juga Bais TNI, itulah institusi negara yang memiliki kemampuan untuk menyadap. Pemahaman saya, penyadapan tidak boleh sembarangan, harus berdasarkan aturan UU. Tetapi kalau misalnya yang menyadap bukan Pak Ahok, tetapi lembaga lain itu, maka hukum harus ditegakkan. Harus diketahui siapa yang menyadap, Supaya jelas, karena yang kita cari adalah kebenaran. Kalau saya yang dikawal paspampres saja bisa disadap, bagaimana dengan rakyat yang lain," tegasnya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permintaan data atau Call Data Record (CDR) memang dibenarkan, tetapi oleh lembaga yang diperintahkan UU.
Di Pasal 40 UU Telekomunikasi, setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Sesuai UU Telekomunikasi pada pasal 56 menegaskan bahwa pelanggaran terkait soal penyadapan ini diancam hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun. (Baca: Ramai Penyadapan)
Dikenal ada dua metode yang mungkin bisa menyadap isi percakapan. Salah satunya dengan menyusupkan trojan (tactical) atau bekerja sama dengan operator (lawful intercept). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa tata cara penyadapan harus diatur dalam UU tersendiri.(id)