JAKARTA (IndoTelko) - Penerapan Big Data untuk sektor pariwisata dinilai sebagai langkah yang tepat untuk mengetahui angka yang tepat kedatangan wisatawan mancanegara ke Tanah Air.
Langkah penerapan Big Data di pariwisata dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan penggunaan Mobile Positioning Data (MPD).
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, R Niken Widiastuti menilai MPD sebagai langkah yang tepat dalam penghitungan Wisman terutama untuk daerah perbatasan.
“Saya setuju sekali, jika Big Data Mobile Positioning digunakan untuk menghitung wisman di perbatasan. Yang penting, system harus dibangun, da nada koneksi internet. Untuk Entikong dan Aruk-Sambas Kalbar, sudah terbangun Palapa Ring – BTS, internet sudah ada. Hanya masih agak lambat,” jelas Niken, kemarin.
Asal tahu saja, sejak Oktober-November-Desember 2016, proses penghitungan wisman di 19 Kabupaten, 46 kecamatan, di Pos Lintas Batas (PLB) Non Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) sudah dimulai. Ke-19 titik itu memang belum ada petugas Imigrasi, dan selama ini dihitung dengan menerjunkan surveyor dengan metode sampling, di beberapa titik di dalam rentang waktu yang tertentu.
Dengan Big Data Mobile Positioning itu, sudah seperti disensus. Tidak lagi di survei yang mengambil sampling beberapa, dan rentang waktu pendek. Semua pelintas batas yang membawa ponsel, secara otomatis tercatat. Karena itu, manfaat pencatatan wisman berbasis Big Data ini sangat besar.
Pertama, penghitungan dilakukan secara otomatis dengan mesin, tidak ada campur tangan manusia. Kedua, dilakukan non stop selama 24 jam x 7 hari x 52 minggu dalam setahun. Ketiga, memberikan profile wisman yang lebih lengkap, soal lama tinggal (length of stay), frekuensi kedatangan, kota asal mereka. Keempat, mampu mencatat wisman yang tidak melalui jalur pintu PLB.
Melalui BPS, jumlah wisman yang terdeteksi melalui roaming selular di 19 kabupaten tersebut sebanyak 68.112 dan mengalami peningkatan pada bulan Novermber 2016 menjadi 71.169.
Wakil Ketua Forum Masyarakat Statistik (FMS) Indonesia, M Iksan mengungkapkan selama ini, data pariwisata masih mengandalkan metode lama, yaitu dengan perhitungan data imigrasi. Hanya saja ada 19 titik di daerah perbatasan yang tidak bisa dicover oleh Imigrasi. Akibatnya, banyak wisman yang berkunjung tapi tidak terhitung.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Djunaedi menegaskan Go Digital itu tidak boleh setengah-setengah, dan harus cepat diimplementasi di semua sector. “Kami dari GIPI, mewakili industri pariwisata mendukung sepenuhnya implementasi BDMBD itu. Saya percaya, teknologi akan membuat perhitungan itu semakin cepat, mudah, murah dan akurat. Bahkan lebih cepat lebih baik,” kata Didien.
Pakar Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menilai BPS semakin modern, semakin familiar dengan teknologi informasi, yang sudah semakin kuat mempengaruhi dunia.
”Ini sudah menjadi keharusan. Mengubah dari cara konvensional dengan menggunakan digital dan teknologi. Mengganti kertas dengan dunia digital. Kertas itu bisa salah mencatat, bisa salah lihat, tidak real time, sangat terbatas jangkauan indra manusia. Juga bisa mahal, karena wilayan Indonesia yang terbentang luas. Sementara dengan Big Data, sudah terbantu oleh mesin, jaug lebih akurat, real time up date, serta efektif efisien,” ujar Rhenald.
Dikatakannya, data resmi BPS itu bukan hanya bermanfaat besar untuk internal Kemenpar, yang harus cepat memperoleh informasi angka-angka untuk pengambilan keputusan, evaluasi kegiatan, dan mambuat analisa pasar. Tetapi juga sangat penting bagi industry yang bergerak di sector pariwisata, yang membutuhkan data dan fakta yang akurat dan real time.(ak)