Hoax banyak bersarang di media sosial

Ketum Mastel Kristiono (kiri) kala memberikan paparan tentang hasil survei Mastel (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Maraknya peredaran berita-berita hoax belakangan berpotensi untuk menimbulkan perpecahan, instabilitas politik dan gangguan kemanan.

Pasalnya, berita hoax kerap dianggap sebagai produk yang paling mudah untuk disebar di era keterbukaan informasi di Indonesia seperti sekarang ini dan cukup mumpuni untuk mempengaruhi opini masyarakat. Bahkan, fenomena ini menjadi sorotan Presiden Joko Widodo.

Dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional di Ambon, Provinsi Maluku, Presiden mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama berupaya dalam menjernihkan situasi dan menghentikan penyebaran berita-berita bohong dan fitnah yang dapat mengakibatkan perpecahan bangsa, terutama yang beredar melalui media sosial.

Atas dasar hal tersebut Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) sebagai wadah bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang Telekomunikasi, Teknologi Informasi, Komunikasi dan Penyiaran menggelar sebuah survei untuk mendapatkan persepsi masyarakat terhadap berita hoax, penyebaran berita hoax, klasifikasi berita hoax serta dampak berita hoax terhadap kehidupan berbangsa secara nasional.

Proses survey dilakukan secara online dan direspon oleh 1.116 responden dengan rentang usia 25-40 tahun (47,80%), di atas 40 tahun (25,70%), 20-24 tahun (18,40%), 16-19 tahun (7,70%) dan di bawah 15 tahun (0,40%). Jumlah responden ini didapatkan dalam waktu 48 jam sejak pertama kali disebarkan ke publik pada 7 Februari 2017.

Dari beberapa pertanyaan yang diajukan pada survei tersebut berhasil didapatkan beberapa data terkait pemahaman seputar definisi hoax, perilaku masyarakat menyikapi hoax, bentuk dan saluran hoax, dampak hoax terhadap kehidupan berbangsa dan penanggulangan hoax.

Sebanyak 90,30% responden menjawab bahwa hoax adalah berita bohong yang disengaja, 61,60% mengatakan kalau hoax adalah berita yang menghasut, 59% berpendapat hoax adalah berita yang tidak akurat, 14% menjawab hoax sebagai berita ramalan atau fiksi ilmiah, 12% mengatakan hoax adalah berita yang menyudutkan pemerintah dan 3% menjawab berita yang tidak saya sukai.

Hanya 0,60% responden menjawab tidak tahu. Ketidak jelasan sumber berita (54,10%) membuat 83,20% responden langsung memeriksa kebenaran dari berita tersebut atau langsung menghapus dan mendiamkan (15,90%). Hanya 1% dari responden yang menyatakan bahwa mereka langsung meneruskan berita dimaksud.

Sekitar 91,80% responden mengatakan bahwa berita seputar Sosial Politik baik yang terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah atau pemerintah adalah jenis berita hoax yang sering mereka terima lewat Media Sosial (92,40%). Sementara aplikasi obrolan daring seperti Line, Whatsapp atau Telegram menjadi saluran penyebaran hoax yang terbanyak menurut 62,80% responden.

Sedangkan situs web (34,90%), televisi (8,70%), media cetak (5%), email (3,10%) dan radio (1,20%) menjadi saluran penyebaran hoax lainnya. Sebanyak 96,6% responden juga berpendapat bahwa hoax dapat menghambat pembangunan.

"Walau berita hoax sengaja dibuat untuk mempengaruhi publik dan kian marak lantaran faktor stimulan seperti isu Sosial Politik dan SARA, namun penerima hoax cukup kritis karena mereka telah terbiasa untuk memeriksa kebenaran berita. Ini artinya sudah bagus, tinggal bagaimana mencegah kelompok silent majority berpindah ke haters," kata Ketua Umum Mastel Kristiono, kemarin.

Menurutnya, mitigasi dampak hoax yang wajib dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi masyarakat melalui peran aktif pemerintah, pemuka masyarakat dan komunitas, menyediakan akses yang mudah kepada sumber informasi yang benar atas setiap isu hoax, melakukan edukasi yang sistematis dan berkesinambungan serta tidakan hukum yang efektif bagi penyebarnya.

"Kami sebagai bagian dari elemen masyarakat juga tengah merencanakan pengembangan ekosistem mitigasi hoax," ungkap Kristiono.

Disamping peluncuran hasil survei, MASTEL juga menyosialisasikan slogan THIS. yang merupakan singkatan dari Tanpa HOAX, Indonesia Sejahtera dan menjalin kerjasama dengan Qlue untuk menyinergikan inisiatif digital berbasis aplikasi.

Lebih lanjut Pria yang akrab disapa KR itu menyatakan Indonesia tidak membutuhkan regulasi khusus untuk mengatasi hoax atau informasi palsu. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dirasa masih cukup untuk mengatasi isu tersebut.

"Kita sudah ada UU ITE yang mencakup banyak hal, termasuk soal hoax itu. Jadi sebenarnya dengan UU yang sudah ada, sudah cukup," tuturnya.(ak)