Aksi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengejar kewajiban pembayaran pajak dari Google sepertinya mendapatkan sinyal terang.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Kementerian Keuangan Muhammad Haniv mengungkapkan telah menerima sebagian file elektronik milik Google.
Diterimanya sebagian data itu menunjukkan adanya itikad baik dari Google untuk bekerjasama dengan DJP dalam hal pembayaran pajak ini.
DJP membutuhkan data terutama laporan pembukuan atas iklan agar bisa menentukan besaran pajak yang tepat dari Google.
Laporan pembukuan tersebut, setelah diterima, akan dimanfaatkan oleh DJP untuk pengajuan angka terbaru hasil pemeriksaan bukti permulaan agar proses pungutan pajak terhadap Google menjadi lebih cepat.
Dari catatan akuntansi sementara yang dimiliki DJP, Google melalui hasil pemeriksaan bukti permulaan ini bisa dikenakan pajak lebih dari Rp5 triliun, sudah termasuk bunga maupun denda. Untuk satu tahun pajak saja di 2015 dengan sanksi bunga bisa sampai Rp3 triliun. Ini berdasarkan buku yang diberikan dari bagian akuntansinya. Belum tahun pajak 2013 dan 2014.
Apabila laporan pembukuan tersebut tidak diterima, maka DJP paling cepat pada periode Januari 2017 berhak melakukan pemeriksaan pajak sepenuhnya (full investigation) dengan potensi denda hingga 400%. Sepertinya dengan diserahkannya data ini maka langkah full investigation tak terjadi.
"Penyelesaian tentang google sudah hampir mencapai titik temu lah, karena kan google investasi di Indonesia, kita saling memahami lah apalagi Google juga penting untuk memajukan ekonomi bangsa," kata Hanif pekan lalu.
Sayangnya, Haniv enggan membuka besaran pajak yang akan dibayarkan Google. "Yang terpenting itu dia (Google) mau membayar.Selesai lah yang penting," tutupnya.
Selesaikah? Justru ini babak baru bagi Over The Top (OTT) terutama pemain asing di Indonesia. (Baca: Harta karun Google)
Sudah menjadi rahasia umum jika pemain OTT seperti Google, Facebook, dan lainnya lolos dari kewajiban pajak yang maksimal.
Misalnya, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT. (Baca: Mengejar Pajak Google)
Pasalnya, perlakuan pajak internasional atas BUT atau permanent establishment (PE) masih menganut konsep tempat usaha tetap (fixed business place) atau ada secara fisik. Hal ini tercantum dalam pasal 5 traktat pajak (tax treaty) antar negara yang lazim diadopsi secara internasional. Sementara, bisnis perusahaan konten internet, termasuk Google, berbasis di dunia maya.
Tentunya setelah Google, ibarat bola salju yang menggelinding kencang kita akan mendengar pemeriksaan terhadap Facebook, Twitter dan lainnya. (Baca: Pajak OTT)
Agar tidak ada lagi dispute di lapangan, sudah saatnya Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui internet (OTT) yang dikeluarkan Menkominfo Rudiantara diubah menjadi Peraturan Menteri.
SE yang diterbitkan Rudiantara mengacu kepada Permenkominfo No 21 tahun 2013 tentang Konten Multimedia. Selain mengacu ke Permenkominfo itu, SE ini juga memperhatikan aturan lain seperti terkait perpajakan, pornografi, terorisme, serta hal lainnya terkait aturan Badan Usaha Tetap (BUT). (Baca: Permen OTT)
Kehadiran Permen OTT ini akan memberikan payung hukum yang jelas dan kesetaraan bagi semua pemain dalam berbisnis di Indonesia. Jangan ditunda lagi!
@IndoTelko