JAKARTA (IndoTelko) – Layanan ride-hailing yang disediakan platform on demand service sepeti Uber, GO-JEK, dan Grab dianggap belum menjawab prinsip dasar bertransportasi secara keseluruhan.
Prinsip dasar dalam bertransportasi adalah keselamatan, aksesibilitas, keterjangkauan, terintegrasi, kenyamanan dan keberlanjutan.
“Sejauh ini taksi berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin saja, yakni aksesibilitas. Konsumen dengan (relatif) mudah mendapatkan taksi online daripada taksi konvensional,” ungkap Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam keterangannya, Kamis (23/3).
Menurutnya, untuk aspek yang lain, taksi online belum mampu menjawab kebutuhan dan perlundungan pada konsumen yang sebenarnya. Misalnya, belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya.
Tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. Sebab taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non rush hour. Pada rush hour tarif taksi online jauh lebih mahal apalagi dalam kondisi hujan. Jadi untuk diberlakukan tarif bawah taksi online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas.
“Justru yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran,” tegasnya.
Ditambahkannya, Taksi online juga belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via abritase di Singapura. “Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen,” sesalnya.
Dikatakannya, operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam term of contract-nya, mereka bahkan akan menjadikan data pribadi konsumen untuk di-share ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi. “Kemenhub dalam revisinya Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif,” sarannya.
Diingatkannya, dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tarif. Sebab predatory tarif akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. Sewajarnya, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tarif.
Di sisi yang lain, YLKI mendesak kepada operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanannya, misalnya kemudahan mengakses bagi konsumen semudah taksi online. Jika perlu Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional, harus dibebaskan dari unsur inefisiensi. Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional.
“Secara umum, revisi Permenhub No. 32/2013 sebenarnya sudah terlalu permisif dan kompromistis. Misalnya soal akomodasi/pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai taksi. Padahal mobil LCGC hanya 1.000 cc seharusnya tidak laik untuk angkutan umum karena tidak safety. Uji kir juga cukup dengan stiker tidak harus diketok di mesinnya. Bahwa keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang, tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi,” pungkasnya.(id)