JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diminta untuk tidak menunda lagi penerbitan Peraturan Menteri (Permen) terkait Over The Top (OTT) atau penyedia layanan aplikasi dan konten pasca keluarnya Surat Edaran Nomor SE - 04/PJ/2017 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet dari Dirjen Pajak belum lama ini.
“Keluarnya surat edaran dari Dirjen Pajak itu harusnya menjadi tamparan bagi Menkominfo Rudiantara untuk secepat mungkin mengesahkan surat edaran yang dikeluarkannya pada akhir Maret 2016 tentang OTT menjadi Permen. Di media massa kan beliau selalu bilang nunggu isu pajak clear, itu kurang clear apalagi surat edaran dari Dirjen, kok sampai sekarang tak ada gerakan SE OTT berubah menjadi Permen OTT dari Menkominfo,” sungut Eksekutif Director Indonesia ICT Institute Heru Sutadi di Jakarta, Senin (27/3). (Baca: SE OTT)
Menurutnya, kehadiran Permen OTT dibutuhkan jika ingin ada kesetaraan aturan antara pemain asing dan lokal. “Permen OTT itu kan jelas soal tanggung jawab konten, BUT, dan kesetaraan playing field. Ini juga menyangkut penegakan aturan untuk transportasi online nanti. Gimana mau diatur aplikasinya kalau Permen OTT gak disahkan. Tak ada lagi alasan penundaan karena konsultasi publik nyaris setahun, mau konsultasi apalagi? Jangan suka memelihara konflik,” tukasnya.
Asal tahu saja, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi pada 6 Februari 2017 mengeluarkan surat edaran Nomor SE - 04/PJ/2017 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet. (Baca: Aturan transportasi online)
Surat edaran ini memberikan panduan dan keseragaman penentuan BUT terhadap Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan OTT di Indonesia.
Mengutip Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), yang dimaksud BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.
BUT bisa berupa tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; hingga komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Payung hukum lain yang dikutip di SE itu adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra (P3B). Berdasarkan P3B, pajak atas laba usaha SPLN yang berasal dari negara mitra adalah berdasarkan keberadaan BUT. Laba usaha yang diperoleh SPLN dapat dikenai pajak di Indonesia, sepanjang usaha SPLN tersebut dilakukan melalui BUT di Indonesia.
Dengan diterbitkannya surat edaran yang ditekennya 6 Februari 2017 silam maka seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Pajak berhak melakukan pengawasan dan penagihan pajak terhadap BUT berbentuk badan usaha asing di Indonesia. (Baca: Permen OTT)
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan Menkominfo Rudiantara berkilah belum disahkannya Permen OTT karena menunggu kejelasan soal isu pajak OTT dari Ditjen Pajak.(wn)