JAKARTA (IndoTelko) – Perkembangan eCommerce yang pesat dan booming beberapa tahun terakhir di Indonesia menjadikan industri ini sebagai sektor ekonomi baru yang menjanjikan bagi banyak pihak, tak terkecuali para pelaku bisnis.
Industri ini memang dinilai masih startup, namun cukup cepat menjadi primadona karena prediksi nilainya yang akan semakin besar beberapa tahun ke depan.
Banyak pihak menilai perkembangan eCommerce di Asia akan kian meledak, mengingat jumlah total penduduk Asia lebih dari 55% penduduk dunia.
Perkembangan eCommerce di Indonesia juga diprediksi akan semakin tinggi mengingat pertumbuhan kelas menengah, tingginya budaya konsumsi, serta pengguna internet di Indonesia yang terbesar keempat di Asia.
Selain dukungan kebijakan dari pemerintah Indonesia, suntikan pendanaan dari investor dari dalam dan luar negeri bagi perusahaan-perusahaan eCommerce juga menandakan keseriusan berbagai pihak untuk mempercepat akselerasi ekonomi digital di tanah air.
Pertumbuhan eCommerce juga memacu pertumbuhan bisnis-bisnis pendukung lainnya, mulai dari logistik sampai pembayaran.
Di lain sisi, para pemain industri ritel offline mulai merasa “tertekan” dengan perubahan sistem berbelanja konsumen ini, bisa dilihat dari kasus tutupnya beberapa departement store maupun toko offline brand-brand besar dua tahun terakhir ini di Amerika, Tiongkok, maupun beberapa negara lain.
“Namun, hal ini hendaklah tidak dilihat sebagai satu ancaman melainkan sebagai satu perubahan yang bisa diterima dan diadaptasi oleh para pelaku bisnis retail,” terang CEO MAP Group VP Sharma kala mengisi salah satu workshop di Indonesia E-Commerce Summit and Expo (IESE) 2017, kemarin.
Diungkapkannya, bahwa sampai saat ini secara global 92% konsumen masih berbelanja langsung di toko, sementara di Indonesia bahkan masih 99%.
CEO Blibli.com Kusumo Martanto juga menyampaikan hal senada bahwa masyarakat Indonesia umumnya masih menganggap pentingnya melihat fisik produk, bertemu, dan mendengar penjelasan dari penjual.
Selain itu, masyarakat masih banyak yang belum memahami bahkan masih takut bertransaksi melalui eCommerce, terutama di luar kota-kota besar.
Perubahan pola perilaku belanja konsumen menjadikan para produsen belajar untuk lebih kreatif dan bersedia mengadopsi sistem perdagangan offline, menjadi bagian dari salah satu saluran pemasaran.
Ini memicu mulai berkembang strategi omni-channel yang merupakan perpaduan sistem pemasaran offline dan online. Dengan mengadopsi strategi ini, para peritel memiliki peluang untuk menjual produknya tanpa dibatasi waktu dan tempat, di mana saja kapan saja 24 jam sehari.
Head of Innovation and Omni-Channel of Sephora Digital SEA Simon Torring menjelaskan bahwa untuk mengadopsi omni-channel tentu membutuhkan investasi yang besar, selain itu perlu tiga hal penting mulai dari sistem, teknologi, serta pelatihan/insentif.
“Ke depannya, inovasi-inovasi dalam e-commerce perlu terus dikembangkan agar para pelaku industri ini bisa bertahan dan menang,” terang Simon.
Sedangkan Head of Business Operations Blanja.com Fikri mengungkapkan ada tiga tantangan terbesar eCommerce di Indonesia. Ketiganya adalah masalah online digital payment, trust & security serta masalah service & infrastructure.
"Orang Indonesia belum familiar dengan transaksi digital. Bagaimana mengubah mereka menjadi digital, sedangkan mereka sendiri belum familiar dengan financial banking," jelasnya.
Sementara di sisi kepercayaan dan keamanan, masih menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan bersama. Saat ini masih banyak orang Indonesia yang belum sepenuhnya percaya dengan belanja online karena banyaknya kasus penipuan dan pencurian data. Ini karena masih minimnya tingkat literasi digital di Indonesia.
Sedangkan di sisi service & infrastructure, permasalahan terbesarnya ada pada logistik. Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulau menjadikan biaya logistik di Indonesia lebih mahal.
Mengutip data dari World Bank, layanan pengiriman truk dari Bandung ke Jakarta sekarang hanya dilakukan satu kali per hari. Padahal lima tahun yang lalu pengirimannya bisa dua kali sehari.
"Dampak signifikan ke biaya logistiknya jadi terasa. Dengan segala permasalahannya, seperti infrastruktur lagi dibenahkan, kenaikan volume kendaraan, dan tanpa adanya antisipasi dari stakeholder," ujar Fikri.(ak)