Soal Persekusi, Jokowi: Jangan menjadi negara barbar

ilustrasi

JAKARTA (IndoTelko) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, persekusi sangat berlawanan dengan azas-azas hukum negara. Karena itu, ia telah memerintahkan Kapolri untuk menindak tegas pelaku persekusi.

Persekusi atau tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga ini didasarkan atas upaya segelintir pihak untuk memburu dan menangkap seseorang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap ulama dan agama. (Baca: Ramai Persekusi)

“Tidak boleh hal-hal seperti itu dibiarkan,” kata Presiden Jokowi kepada wartawan usai menyampaikan sambutan di Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/6) siang seperti dikutip dari laman Setkab.go.id.

Ditegaskannya, perorangan maupun kelompok-kelompok, maupun organisasi apapun, tidak boleh main hakim sendiri. Terlebih lagi bila mengatasnamakan penegakan hukum,

“Tidak ada, tidak boleh dan tidak ada. Kita bisa menjadi negara barbar kalau hal seperti ini dibiarkan,” ucap Presiden.

Kepala Negara meminta kepada siapapun, baik individu, kelompok maupun organisasi masyarakat dari kelompok manapun untuk segera menghentikan aksi persekusi.

“Hentikan dan semuanya serahkan persoalan-persoalan yang akan datang itu kepada aparat hukum, kepada Kepolisian,” pungkas Presiden

Melanggar
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan aksi persekusi  bisa terkena hukuman pidana karena melanggar UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Ada perburuan buat daftar disebarkan ini orang-orang di cari, gak boleh negara kita itu negara hukum, artinya itu bisa menjadi main hakim sendiri. Kalau di dunia maya itu juga tidak bolehlah karena di UU ITE itu melakukan ancaman, menakut-nakuti ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu itu ada aturannya," katanya.

Mengutip UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU ITE no 11/2008, melakukan tindakan mengancam dan menakut-nakuti pada pribadi dapat dikenai hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah. Hal ini sesuai dengan pasal 27 ayat 4 dan diatur sanksinya dalam Pasal 45.

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah, demikian bunyi pasal 45 ayat 4.

Disarankannya, kepada masyarakat tidak menebarkan pesan-pesan yang diviralkan untuk melakukan pengancaman. "Apalagi menerima kemudian ditulis tolong viralkan atau apa, itu belum tentu juga benar. Menurut saya kalau ada kiriman pesan untuk melakukan perburuan atau apa delet aja, tidak usah diterusin daripada urusannnya panjang," katanya.

Secara terpisah, Anggota Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta Polri untuk tidak berat sebelah dalam menegakan hukum.

"Jangan kasus penggerudukan disikapi dengan gerak cepat tapi kasus dugaan makar menyatakan suatu daerah akan merdeka ataupun kasus dugaan ancaman pembunuhan terhadap Wakil Ketua DPR Fadli Zon sangat lambat diusut," kata Sufmi.

Menurut Sufmi, istilah persekusi sebenarnya dikaitkan dengan sentimen rasis, sementara yang terjadi saat ini, tindakan menggeruduk seseorang lantaran akibat dari orang tersebut yang menyinggung pribadi orang lain.

"Sampai saat ini tidak ada istilah tindak pidana persekusi dalam hukum positif Indonesia. Kata persekusi  terlalu seram dan terlalu berlebihan," katanya.

Dikatakannya, karena istilah persekusi tidak ada dalam hukum Indonesia, maka polisi dalam menjalankan tugas haruslah mengacu pada KUHP dan perundang-undangan pidana Indonesia, dan bukan mengikuti opini sebagian orang. "Kasus di Jakarta menurut saya tidak tergolong persekusi karena tidak ada sentimen kebencian rasisme," pungkasnya.(wn)