JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan serius menangani masalah konten negatif yang beredar di media sosial (Medsos).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan penanganan konten negatif di media sosial dilakukan di semua lini. "Tidak hanya dilakukan di hilir saja tapi juga di hulu," katanya dalam diskusi Bedah Fatwa MUI, kemarin.
Untuk penanganan di hilir berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Kalau kita lihat dari Undang-Undang ITE, kesannya konotasinya itu adalah masalahnya selesai hanya dengan pembatasan akses (pemblokiran)," jelasnya.
Diakuinya, langkah blokir yang dilakukan pemerintah belum tentu efeketif. "Pemerintah menyadari melakukan pemblokiran saja itu tidak akan efektif. Itu akan efektif kalau pemblokiran itu di hilir, artinya seperti menyembuhkan orang sakit; diberi obat, disuntik, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Menurutnya, penanganan di hulu diperlukan lebih pada upaya mendorong setiap pengguna media sosial memproduksi dan membagi konten positif. “Di hulu itu bagaimana membuat orang menjadi sehat alias kontennya harus konten positif. Jadi yang ini adalah bagaimana sosialisasi literasi. Salah satunya adalah berdasarkan Fatwa MUI Bagaimana Bermedia Sosial,” paparnya.
Rudiantara pun berharap agar penggunaan media sosial dengan baik agar dapat terus disosialisasikan. “Makin seringnya ini kita sosialisasikan terus-menerus terutama kepada masyarakat yang tingkat literasi media sosialnya apalagi dari unsur keagamaannya dibantu dengan Fatwa MUI ini," jelasnya.
Lebih lanjut Rudiantara mengatakakan wacana menghentikan layanan media sosial menjadi langkah terakhir diambil jika tak ada perubahan dari mereka memberi ruang menyebar konten hoax.
Diharapkannya, platform media sosial bergerak aktif membantu pemerintah mengatasi konten negatif yang berseliweran.
“Misalnya dengan Facebook. Kita sering minta mereka menarik konten-konten seperti itu (negatif) dalam waktu singkat. Namun karena kebijakan Facebook yang mengharuskan permintaan yang datang dari pemerintah dibicarakan terlebih dahulu dengan tim legalnya di Amerika Serikat, maka butuh waktu yang panjang. Saya menghormati kebijakan mereka, tapi kan ini terjadi di Indonesia jadi seharusnya ikut peraturan di sini,” keluhnya.
Pegiat media sosial Nukman Luthfie menambahkan masyarakat Indonesia sekarang terbelah dua di dunia maya jika menganalisis percakapan di media sosial.
Diungkapkannya, polarisasi opini mulai terjadi di pemilihan Gubernur DKI 2012 antara Calon Gubernur Joko Widodo dan Fauzi Bowo. Ketegangan mulai menguat sejak pemilihan presiden 2014 dan memuncak di pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun ini.
Dikatakannya, masyarakat mulai menikmati konten opini ketimbang berita yang terverifikasi. Tulisan opini kerap bermasalah karena dianggap sebagai kebenaran sehingga banyak yang berlomba-lomba membagikannya ke orang lain.
Dijelaskannya, saat ini media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi sebagian masyarakat, bersaing dengan media tradisional seperti televisi.
“Mayoritas generasi Z yang berumur 15-20 tahun memilih media sosial sebagai sumber informasi primer. Dalam sehari rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 16 menit. Angka itu termasuk besar untuk populasi Indonesia yang kurang dari setengahnya belum terkoneksi internet,” ulasnya.(id)