JAKARTA (IndoTelko) – PT Indosat Tbk (ISAT) atau Indosat Ooredoo mengaku sudah mempermanenkan penawaran tarif Rp 1 per detik untuk panggilan layanan suara bagi produk IM3 Ooredoo.
“Kami sudah laporkan ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk RP 1 per detik bagi IM3 Ooredoo,” ungkap Presiden Direktur & CEO Indosat Alexander Rusli kala berbuka bersama media pekan lalu.
Dikatakannya, selama ini Rp 1 per detik diluncurkan per daerah dengan melihat profiling calon pelanggan. “Sekarang sudah masuk ke Pulau Jawa. Kemarin Bali dan Sumatera. Pelanggan masih ada yang senang lakukan panggilan suara,” katanya.
Menurutnya, penawaran Rp 1 per detik lumayan positif dampaknya bagi Indosat dan tak ada predatory pricing yang terjadi. “Kita kan subsidi, di off nett (panggilan antar operator) murah, tetapi on nett (ke sesama pelanggan) yang tadinya gratis menjadi bayar. Jadi, balance. Skema ini (Rp 1 per detik) juga bagus bagi pelanggan karena lebih mudah diingat,” katanya.
Asal tahu saja, Indosat menawarkan tarif Rp 1 per detik biasanya disertai kuota internet dan akses bebas kuota ke sejumlah aplikasi seperti WhatsApp, Line, BBM, Path, Twitter, Facebook, Go-Jek, dan Grab.
Penawaran Rp 1 per detik ini sempat membuat industri seluler memanas pada tahun lalu karena kampanye yang dilakukan Indosat di media sosial langsung menohok Telkomsel. (Baca: Rp 1/detik dari Indosat)
Subsidi silang
Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto menilai munculnya penawaran Rp 1 per detik karena sampai saat ini regulator belum menerbitkan daftar tarif interkoneksi (setelah penetapan tarif interkoneksi lalu ditunda), sehingga masing-masing operator berpendapat bahwa tarif dapat ditetapkan oleh masing-masing operator.
“Dalam penetapan tarif percakapan Rp1/detik, operator mengorbankan pendapatan suaradengan harapan meningkatnya pendapatan trafik data. Hal ini menyebabkan dugaan predatory pricing sulit dibuktikan. Selain itu predatory pricing biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mematikan atau menyingkirkan pesaing, sedang dalam kasus ini yang dilakukan adalah upaya meningkatkan pendapatan trafik data,” ulasnya.
Ditambahkannya, perilaku ini menyebabkan terjadinya jual ikat (requirements tie-in sale) bukan bundling (package tie-in sale), yaitu konsumer “dipaksa” membeli paket dengan dalih bonus kuota internet dan akses bebas kuota WhatsApp, Line, BBM, Path, Twitter, Facebook, Go-Jek, dan Grab.
“Kalau dilihat tarif telpon Rp1/perdetik merupakan pancingan atau jebakan konsumer untuk mendapatkan sejumlah aplikasi sehingga konsumer memanfaatkan aplikasi dengan membeli pulsa yang dijual oleh operator. Dengan demikian sasaran operator adalah meningkatkan penjualan pulsa dengan menggratiskan perolehan dan pemakaian aplikasi,” katanya.
Dampak kedua aksi itu, lanjutnya, terjadi subsidi silang (cross subsidy). Dapat diduga bahwa pendapatan trafik data akan mensubsidi pendapatan suara yang berkurang. Dengan demikian pendapatan data akan mengkompensasikan kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya tarif telpon, yaitu hanya Rp60/menit. (Baca: Operator korbankan layanan suara)
“Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) harus secepatnya menuntaskan isu biaya interkoneksi. Sedangkan soal requirements tie-in sale dan subsidi silang sebaiknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkaji kedua perilaku ini berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak,” tutupnya.(dn)