JAKARTA (IndoTelko) - Pemerintah dikabarkan segera mengeluarkan aturan untuk memungut pajak dari eCommerce.
Beleid kabarnya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kabarnnya, yang akan dikenakan pajak adalah perusahaan online yang ditunjuk sebagai pemotong.
Pajak yang diambil akan di bawah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun tarif PPN berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini adalah sebesar 10%.
Jika kabar ini benar, artinya pemain seperti marketplace akan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan menjadi Wajib Pungut (WAPU) PPN.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kala dimintai tanggapannya menyatakan prinsip perpajakan jelas bersandar pada asas kepastian (certainty) dan keadilan (equity). Siapapun yang mampu harus membayar pajak, dan pemungutan pajak harus didasarkan pada Undang-undang atau aturan.
“eCommerce adalah fenomena cukup baru dan semakin penting dalam dunia bisnis dan perekonomian Indonesia. Maka pengaturan eCommerce menjadi sangat penting dan relevan agar memberi kepastian bagi investor, pelaku, dan masyarakat sebagai konsumen,” katanya melalui pesan singkat, kemarin.
Menurutnya, negara memiliki hak, salah satunya pajak yang terutang dari aktivitas bisnis eCommerce. Maka sektor ini perlu diatur agar tercipta keadilan (membayar pajak sebagaimana perdagangan konvensional) dan pasti (didasarkan pada aturan yang jelas dan fair).
“Upaya pemerintah menerbitkan aturan yang secara khusus mengatur eCommerce layak diapresiasi. Lebih dari itu, aturan ini diharapkan mampu menangkap dinamika bisnis yang sangat cepat, padat modal, dan sensitif terhadap regulasi yang tidak responsif. Maka rumusan aturan yang komprehensif, jelas, mengedepankan kepastian, kompatibel dengan pengaturan di negara lain, memberi insentif yang tepat – sangat dibutuhkan,” katanya.
Namun, diingatkannya, eCommerce adalah sektor yang baru tumbuh, maka akan lebih baik Pemerintah lebih hati-hati agar kebijakan yang diambil tidak men-discourage para pelaku. “Untuk itu perlu identifikasi dan klasifikasi yang jelas terkait model bisnis dan skala bisnis yang ada. Pelaku start up seyogianya mendapat perlakuan berbeda (insentif), agar dapat tumbuh kembang dengan baik, difasilitasi, dan terus dijaga agar kelak dapat berkontribusi maksimal bagi negara,” katanya.
Disarankannya, pemerintah dapat fokus pada registrasi (pendataan dan pendaftaran para pelaku agar menjadi wajib pajak melalui skema bentuk usaha tetap dan/atau pengusaha kena pajak). Domain kewenangan ada di Kominfo, saat registrasi mereka sekaligus ditetapkan sebagai wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak sesuai kondisi.
“Hal ini untuk menciptakan keadilan antara pelaku domestik dan yang berdomisili di luar negeri harus diciptakan equal playing field dengan kebijakan yang menjamin perlakuan setara. Maka koordinasi Kominfo dan Ditjen Pajak menjadi sangat penting,” katanya.
Terkait jenis pajak yang dapat dipungut adalah PPN atas transaksi penjualan barang dan jasa kena pajak. Untuk memudahkan administrasi, dapat diusulkan pengenaan PPN dengan nilai lain/tarif efektif sehingga lebih sederhana dan mudah.
“Pemerintah perlu memperhatikan para pelaku bisnis rintisan (start up) agar dapat diberi insentif untuk tumbuh dan tidak ter-encourage dibandingkan pelaku bisnis konvensional. Migrasi model bisnis ke medium lain juga perlu diantisipasi, misalnya media sosial, sehingga perlu diatur agar tidak menimbulkan dampak buruk,” katanya.
Diharapkannya, pemerintah terus mencari skema paling efektif, termasuk administrasi yang mudah dan murah, agar bisnis e commerce dapat berkembang lebih baik. Maka komparasi dengan negara lain menjadi penting, termasuk mendengarkan suara para pelaku usaha.
“Aturan baru seyogianya tidak ambisius untuk mengejar potensi pajak dlm jangka pendek, namun menciptakan kepastian dan ruang pertumbuhan bisnis yang baik agar kelak kita dapat memetik hasil yang semakin besar,” pungkasnya.(id)