Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya menunjuk PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) sebagai pemenang dalam lelang pengadaan Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau dikenal dengan mesin sensor internet.
INTI berhasil menyisihkan 72 peserta melalui pemberian harga penawaran sekitar Rp 198,611 miliar dan harga terkoreksi Rp 194,059 miliar dengan skor harga 70 dan skor akhir 94.
Nilai pagu dari proyek ini sekitar Rp 211,8 miliar, sementara harga perkiraan sendiri (HPS) di kisaran Rp 211,87 miliar.
Kominfo dalam pernyataan resminya menyatakan mesin yang ditender ini bukan sesuatu yang istimewa karena semua ada di pasar. Mesin ini akan meng-otomatisasi pencarian situs atau konten negatif di Internet yang selama ini dilakukan secara manual. Dukungan secara hardware ada beberapa perangkat seperti server, storage, dan lainnya
Direktorat Keamanan Kominfo nantinya sebagai pihak yang mengoperasikan mesin akan menambahkan keamanan dari sistem dan secara regular melakukan audit agar pengamanan dari alat itu terjamin. (Baca: Menyoal mesin sensor internet)
Kominfo menyatakan niat pengadaan mesin sensor ini sudah ada sejak 2016, tepatnya ketika revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) usai disahkan. Sayangnya, kala itu waktu mepet hingga mata anggaran dipindah ke 2017.
Dalam Pasal 40 UU ITE dinyatakan pemerintah wajib mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang, dimana pencegahan itu memberikan pemerintah wewenang untuk melakukan pemutussan akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutuskan akses.
Saat ini Kominfo juga tengah melakukan finalisasi terhadap revisi aturan teknis untuk sensor konten negatif di dunia maya.
Selama ini untuk sensor atau pemblokiran konten di dunia maya, aturan teknis yang menjadi andalan adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif.
Targetnya, jika mesin ini bekerja di awal 2018, sebanyak 30 juta situs pornografi akan disasar untuk ditapis. Sejauh ini baru sekitar 700 ribu situs berbau pornografi yang bisa ditapis. (Baca: Mesin sensor)
Kontroversi
Selesaikah kontroversi dari pengadaan mesin sensor internet ini? Bagi sebagian kalangan justru menyisakan banyak tanda tanya yang belum terjawab.
Pertama, terkait hasil tender yang memenangkan INTI. Rekam jejak dari INTI di bisnis cyber security nyaris tak terdengar selama ini. Pengadaaan perangkat keras yang dianggap sudah biasa ada di pasar pun tak semudah membalikkan telapak tangan didatangkan karena harus diimpor.
Pembiayaan proyek dengan cara lump sump alias turnkey project dimana pembayaran setelah barang terpasang sesuai spesifikasi tentu membutuhkan pendanaan yang tak sedikit dari pemenang proyek. Dalam waktu pendek, mampukah INTI mencari pendanaan untuk proyek ini?
Kedua, Pasal 87 Ayat (3) Perpres No 54/2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa menyatakan dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis. Pelanggaran atas ketentuan ini bisa dikenakan denda. Artinya, untuk mengalihkan pengadaan pun tak bisa INTI lakukan jika tak bisa mendapatkan modal kerja dalam waktu singkat.
Ketiga, cara kerja dari mesin yang seperti membuat whitelist dari konten yang bisa diakses. Singkatnya seperti membuat search engine atau "Google kecil" dengan nilai proyek yang jumbo menjadi tanda tanya besar bagi sebagian kalangan.
Keempat, kekhawatiran mesin ini akan menjadi pemborosan kala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) beroperasi tahun mendatang dimana tentu spesifikasi yang dibutuhkan lebih canggih dari peralatan yang dilelang ini.
Kelima, masalah kedaulatan dari Indonesia dalam soal keamanan digital. Mesin tak akan ada artinya tanpa sistem yang dikembangkan. Artinya, sistem informasi dan brainware adalah kunci utama dari suksesnya proyek penapisan yang bermoral.
Belajar dari kasus Amerika Serikat (AS) yang menghapus nama Kaspersky dari penyediaan layanan keamanan internet untuk penawaran proyek teknologi informasinya atau Korea Selatan yang bersikeras mengembangkan sendiri sistem penapisan, seharusnya Indonesia melakukan hal yang sama.
Kedua negara maju ini menyadari, kunci dari kedaulatan digital adalah pada sistem yang dikembangkan dan brainware. Jika sistem dibeli "jadi" tentunya negara akan terikat dalam pengembangan berupa harus membayar modul untuk setiap tahap yang dikembangkan.
Mampukah Indonesia mengembangkan sistem keamanan sendiri? Jawabannya tentu mampu. Lihat saja Nawala yang digunakan BlackBerry untuk menapis konten negatif.
Lantas kenapa pemerintah tak percaya dengan sistem buatan anak bangsa? Jawabannya, mental "membeli" dan jalan pintas selalu menjadi pilihan sehingga anak-anak bangsa susah mendapat kesempatan di negeri sendiri. Ironis!
@IndoTelko