JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengumumkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) sebagai pemenang dalam lelang pengadaan Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau dikenal dengan mesin sensor internet.
INTI berhasil menyisihkan 72 peserta melalui pemberian harga penawaran sekitar Rp 198,611 miliar dan harga terkoreksi Rp 194,059 miliar dengan skor harga 70 dan skor akhir 94.
Nilai pagu dari proyek ini sekitar Rp 211,8 miliar, sementara harga perkiraan sendiri (HPS) di kisaran Rp 211,87 miliar. (Baca: Tender Mesin Sensor)
Kominfo dalam pernyataan resminya menyatakan mesin yang ditender ini bukan sesuatu yang istimewa karena semua ada di pasar. Mesin ini akan meng-otomatisasi pencarian (crawling) situs atau konten negatif di Internet yang selama ini dilakukan secara manual. Dukungan secara hardware ada beberapa perangkat seperti server, storage, dan lainnya
Direktorat Keamanan Kominfo nantinya sebagai pihak yang mengoperasikan mesin akan menambahkan keamanan dari sistem dan secara regular melakukan audit agar pengamanan dari alat itu terjamin.
Kejanggalan
Pengadaan mesin ini dinilai sejumlah pihak tidak transparan dan penuh kejanggalan.
Salah satu yang bersuara lantang adalah Internet Development Institute (ID Institute). Lembaga kajian ini digawangi sejumlah nama top di kalangan penggiat internet
Sebut saja nama Muhammad Salahuddien yang selama ini dikenal sebagai Wakil Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (IDSIRTII), Rapin Mudiardjo (salah satu pendiri ICT Watch), Irwin Day (Direktur Nawala), dan Sigit Widodo (PANDI).
Tentunya, jika yang mengungkap fakta kelompok intelektual ini menjadi menarik menyimak fakta yang diungkapkan.
"Pertama, saya mau bicara proses lelangnya dulu. Ini saya cerita yang biasa terjadi dalam belanja teknologi di pemerintahan," ungkap Muhammad Salahuddien, dalam jumpa pers, Jumat (20/10) sore.
Pria yang akrab disapa Didien ini menyatakan, biasanya dalam belanja teknologi ada konsultan untuk membuat standar teknologi, solusi, hingga Bill of Quantities (BOQ). "Setahu saya, konsultannya sedang bekerja membuat perencanaan. Aneh gak? Lelang selesai kok konsultan baru kerja? Jadi, ini yang ngasih masukan standar untuk lelang siapa?" tanyanya.
Didien pun menantang Kominfo untuk mengeluarkan kajian yang sudah ada tentang pengadaan mesin sensor itu jika memang ada untuk dipelajari bersama."Saya baca di media, katanya ini kajian sudah lama. Kalau begitu buka dokumennya. Jadi bisa tahu, ini kajian lama versi mana," tantangnya.
Tak berhenti disitu, Didien terus mengumbar fakta bahwa memang ada rencana pengadaan mesin sensor pada 2016, tetapi tak bisa dilaksanakan karena tak ada payung hukum, serta tidak ada pejabat yang bisa memutuskan teknologi yang akan diadopsi.
"Kominfo lakukan pertemuan dengan semua pemangku kepentingan kala itu, tetapi semua nolak. Pertanyaannya sama waktu itu, ini buat apa sih," gusarnya.
Teknis
Sementara Irwin mengaku kecewa dengan teknik yang dipilih Kominfo untuk mesin sensor itu ternyata hanya sebatas crawling konten. "Saya tadi pikirnya Deep Packet Inspection (DPI). Kalau DPI, wajar ya harganya Rp 200 miliar. Lha ini crawling, kok semahal itu," tanyanya.
Dijelaskannya, teknik crawling itu hal yang sangat sederhana dimana intinya memperbarui database alias mirip yang dilakukan Google.
"Kalau begitu langganan saja ke Google, mereka ada kok yang pola berlangganan. Saya itu mempertanyakan uang rakyat ratusan miliar dibelanjain buat hal yang semua orang paham teknologi tahu ini boros. Kami ini bersuara karena memandang yang disana (Kominfo) itu temen. Kewajiban temen itu ingetin kawan," tukasnya.
Didien menambahkan, pola crawling sangat mudah dihindari oleh mereka yang tak ingin situsnya kena mesin sensor. "Dia pasang alat anti crawling, tak masukin keyword, tak declare situsnya, bisa lolos. Ini kan crawling berbasis teks, kalau flash gimana? Kepikir gak?" tanyanya.
Didien pun menyayangkan Kominfo yang terkesan tak mendengar suara-suara masukan ketika tender akan dimulai. "Katanya mengatur internet dengan konsep multistakeholder. Kok gak dijalanin," pungkasnya.(dn)