2017, ini kontroversi yang dihasilkan Kominfo

JAKARTA (IndoTelko) - Tiga organisasi yang selama ini aktif bergerak dalam memantau perkembangan industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tanah air baru saja mengeluarkan catatan akhir tahun 2017 untuk bidang komunikasi dan informasi.

Tiga organisasi itu adalah Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Indonesia ICT Institute, dan IndoTelko Forum.

"Selain tak ada perkembangan TIK yang dahsyat, di 2017 Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai leading sector untuk TIK nasional juga banyak memproduksi kontroversi di tahun ini," ungkap Juru Bicara tiga organisasi itu yang juga Direktur LPPMII Kamilov Sagala dalam keterangan, (28/12).

Diungkapkannya, sepanjang 2017 publik banyak menyoroti proyek Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau yang dikenal dengan mesin sensor internet.

"Mesin ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas, manfaat yang dipertanyaakn, dan merupakan sebuah penghamburan uang rakyat dimana sistem serupa dapat dilakukan dengan lebih murah. Tambah lagi, ada ketakutan bahwa mesin ini akan dimanfaatkan untuk dapat menyensor apa yang boleh diakses rakyat dan mana yang tidak boleh. Potensi pengekangan informasi seperti di jaman Orde Baru bukan tak mungkin bisa terjadi," ulas Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi.

Selain itu, tiga organisasi ini juga melihat mangkraknya Peraturan Menteri tentang penyedia over the top (OTT), khususnya OTT asing memicu ketidakpastian bagi ekonomi digital.

"Pengaturan yang tidak jelas dan tegas membuat industri nasional secara keseluruhan dirugikan, terutama pelaku OTT lokal. Hal ini karena OTT asing memiliki keleluasaan untuk menghindar dari pajak, yang tidak dapat dilakukan OTT lokal. Ditambah dengan kemampuan finansial yang besar dan sudah bermain secara global, OTT lokal yang banyak dalam masih dalam bentuk startup mati suri dan sulit bersaing serta berkembang," katanya.

Kontroversi lainnya yang diproduksi Kominfo adalah berencana untuk mengubah aturan yang mengatur mengenai perijinan jasa telekomunikasi, dan juga telekomunikasi khusus.

"Ini penting dikedepankan karena perubahan yang dilakukan, meskipun memiliki maksud yang baik, namun dilakukan tidak melihat aturan di bidang telekomunikasi secara menyeluruh. Apalagi dikaitkan dengan rencana lama pemerintah untuk merevisi UU Telekomunikasi No.36/1999. Perijinan bukan sekadar mengeluarkan selembar kertas, namun hal ini memiliki konsekuensi terhadap BHP Telekomunikasi, kualitas layanan, hak dan kewajiban pemerintah dan yang menerima ijin, sifat ijin yang terbuka dan dibatasi, penggunaan spektrum frekuensi dan sebagainya," kata Heru.

Soal revisi UU Penyiaran No.32/2002 juga perlu mendapat sorotan. Hal itu karena konsep digital dividen atau bonus digital diartikan sebagai mengambil semua frekuensi yang saat ini dialokasikan pada lembaga penyiaran analog dan menyisakan sedikit untuk penyiaran dan sebagian besar untuk telekomunikasi.

"Betapapun industri penyiaran, apalagi swasta, telah memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memasyarakatkan program pemerintah, sehingga perlu mendapat perhatian dan mendapat alokasi frekuensi penyiaran yang cukup besar. Revisi tidak akan membutuhkan waktu lama jika isu single multiplexer tidak dikedepankan, yang bahkan memberikan alokasi frekuensi lama lembaga penyiaran analog untuk migrasi ke digital," sindir Kamilov.(wn)