Tak terasa dalam hitungan jam ke depan, tahun 2017 akan ditinggalkan dan tahun 2018 dijalani.
Tak terasa juga Kabinet Kerja sudah mengelola sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) selama tiga tahun di Indonesia.
Sejauh ini memang ada beberapa perkembangan positif di sektor TIK dengan leading sector oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), namun harapan untuk menjadikan TIK Indonesia yang mandiri, berdaulat dan memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan nasional sesuai Nawa Cita Presiden Joko Widodo belumlah terwujud.
Dilihat secara Indeks Pembangunan ICT (ICT Development Index) yang dikeluarkan lembaga International Telecommunication Union (ITU), walaupun secara peringkat Indonesia naik dari 115 ke-111, namun secara substantif ini tidak mengubah peta pembangunan TIK di kawasan ASEAN. Indonesia berada jauh di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, yang bahkan juga masih di bawah Filipina dan Viet Nam.
Ini mengindikasikan bahwa secara substantif, pembangunan ICT Indonesia tidaklah sedahsyat yang dilakukan negara-negara se-kawasan.
Sementara itu, dari segi pemanfaatan, sepanjang 2017, yang merupakan kelanjutan pemanfaatan khususnya media sosial di periode kuartal terakhir 2016, tahun 2017 ini adalah merupakan tahun tumbuh suburnya berita hoaks, yang nampaknya belum ada penyelesaian secara komperehensif.
Ditambah lagi, juga kian maraknya ujaran kebencian, yang menjadi sinyal juga perubahan penggunaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yan selama ini dipakai terkait pencemaran nama baik/fitnah, menjadi Pasal 28 ayat 2 karena dikaitkan dengan SARA dan dengan masa hukuman di atas 5 tahun, sehingga yang dianggap sebagai pelaku dapat langsung ditahan.
Dalam hal mengoptimalkan perkembangan ekonomi yang mengarah ke digital, pemerintah Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019.
Memang ini patut diapresiasi. Namun demikian, perlu upaya jelas dan nyata apa yang dilakukan pemerintah sendiri dengan target dan capaian yang mudah untuk diukur dan dirasakan manfaatnya.
Sejauh ini begitu banyak agenda yang dilakukan pemerintah, seperti Program 1000 Startup, Program 100 Kota Cerdas, Program 1 Juta Penjaga Keamanan Informasi dan lainnya.
Sayangnya, publik mengalami kebingungan apakah program tersebut dilakukan langsung sebagai inisiatif pemerintah, atau dilakukan komunitas/masyarakat, sebab jika bukan dilakukan pemerintah maka target capaian sulit untuk ditentukan. Ini perlu ditegaskan mengingat pemerintah sendiri memiliki target untuk menjadikan TIK Indonesia sebagai Digital Energy of Asia.
Sepanjang 2017, publik juga menyoroti proyek Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau yang dikenal dengan mesin sensor internet. Mesin ini jelas tidak memiliki dasar hukum yang jelas, manfaat yan dipertanyaakn, dan merupakan sebuah penghamburan uang rakyat dimana sistem serupa dapat dilakukan dengan lebih murah.
Tambah lagi, ada ketakutan bahwa mesin ini akan dimanfaatkan untuk dapat menyensor apa yang boleh diakses rakyat dan mana yang tidak boleh. Potensi pengekangan informasi seperti di jaman Orde Baru bukan tak mungkin bisa terjadi.
Belum lagi mangkraknya dalam mengatur industri TIK adalah hubungan dengan penyedia over the top (OTT), khususnya OTT asing.
Pengaturan yang tidak jelas dan tegas membuat industri nasional secara keseluruhan dirugikan, terutama pelaku OTT lokal. Hal ini karena OTT asing memiliki keleluasaan untuk menghindar dari pajak, yang tidak dapat dilakukan OTT lokal. Ditambah dengan kemampuan finansial yang besar dan sudah bermain secara global, OTT lokal yang banyak dalam masih dalam bentuk startup mati suri dan sulit bersaing serta berkembang.
Soal revisi UU Penyiaran No.32/2002 juga perlu mendapat sorotan. Hal itu karena konsep digital dividen atau bonus digital diartikan sebagai mengambil semua frekuensi yang saat ini dialokasikan pada lembaga penyiaran analog dan menyisakan sedikit untuk penyiaran dan sebagian besar untuk telekomunikasi.
Betapapun industri penyiaran, apalagi swasta, telah memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memasyarakatkan program pemerintah, sehingga perlu mendapat perhatian dan mendapat alokasi frekuensi penyiaran yang cukup besar. Revisi tidak akan membutuhkan waktu lama jika isu single multiplexer tidak dikedepankan, yang bahkan memberikan alokasi frekuensi lama lembaga penyiaran analog untuk migrasi ke digital.
Tancap gas
Sudah saatnya di 2018 pemerintah lebih serius dan ada percepatan dalam membangun infrastruktur TIK di seluruh Indonesia, serta memberikan literasi dan pemberdayaan terhadap rakyat Indonesia untuk dapat memanfaatkan semaksimal mungkin perkembangan ekonomi digital yang saat ini mulai mendisrupsi berbagai bisnis tradisional.
Pemerintah harus memiliki keberpihakan terhadap pelaku bisnis digital lokal, baik yang dalam taraf startup maupun yang sudah lebih besar, dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku bisnis digital asing, yang bahkan seharusnya ada pengecualian bisnis yang dapat dimasuki OTT asing serta ada pengaturan lebih ketat dan sulit bagi pelaku digital asing tersebut.
Harapan perwujudan Nawa Cita untuk kemandirian ekonomi bisa jauh panggang dari api jika asing menguasai ekonomi digital Indonesia, dan menjadikan Indonesia sebagai proxy untuk mengganggu kedaulatan politik lewat penggunaan media sosial yang tanpa upaya untuk memfilter apalagi tahun 2018 memasuki tahun politik dan 2019 kita memasuki fase Pemilu dan Pilpres.
Kominfo sebagai leading sector perlu lebih fokus untuk mengawal tugas dan wewenangnya memajukan TIK Indonesia.
Perlu juga dikawal dan dipastikan apakah indikator yang dalam ICT development Index sudah dikerjakan secara baik dan perlu ada percepatan agar tak tertinggal dari bangsa-bangsa lain di kawasan ASEAN yang sangat agresif membangun TIK di dalam negara nya masing-masing.
Jika tak ada langkah yang kongkrit dan fokus kepada tujuan, impian menjadikan Indonesia Energy Digital of Asia di masa depan hanyalah fatamorgana.
@IndoTelko