JAKARTA (IndoTelko) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membuka Pengadaan Jasa Tenaga Kerja untuk menunjang pelaksanaan kegiatan Operasional Sistem Pemblokiran Konten Negatif Tahun 2018.
Peralatan yang dikenal dengan nama mesin sensor internet atau nama lainnya pengais "crawling" konten negatif itu membuka lowongan untuk Project Manager(1 orang), Network dan Security Operation Center Manager(1 orang), IT Project Lead(4 orang), Administrator Jaringan dan Security Operation Center (8 orang), Administrator Sistem dan Database (4 orang), DataAnalyst/Verifikator(40 orang), Penerjemah Bahasa(2 orang), Desain Grafis (2 orang), Administrasi Umum ( 2 orang), dan Pramubakti (4 orang). (Baca: Mesin sensor internet)
Tak Siap
Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala menilai Kominfo tak siap secara konsep dan implementasi urusan operasional mesin sensor internet. (Baca: Kontroversi mesin sensor)
"Ini saya lihat hanya ingin ada proyek dan menghabiskan anggaran saja. Tak ada sustainibility dan visi ke depan. Lihat saja, waktu Desember 2017 bilangnya mesin sudah siap dan akan berjalan, ternyata personil belum ada," tukasnya.
Sebelumnya, kala memamerkan mesin sensor pada media di penghujung 2017, Kominfo menyebutkan Cyber Drone 9 (nama sandi untuk operasional Mesin AIS) akan menggantikan dapur pemblokiran konten internet negatif dan tim Trust+.
"Kami akan berpindah ke tempat baru dengan sistem baru yang kami beri nama Cyber Drone 9. Kami akan mengoperasikan beberapa ‘mesin’ baru yang akan membantu mempercepat cara kerja kami melawan konten internet negatif," kata Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kominfo, Teguh Arifiyadi.
Rencananya, di Cyber Drone 9, akan ada skuad pilihan terdiri dari beberapa pilot dan para agen verifikator yang akan mengoperasikan cyber drone 24 jam non-stop. Teguh akan menjadi kapten pilot pertama di Cyber Drone 9. (Baca: Pengaktifan mesin sensor)
Komilov mengkhawatirkan kehadiran mesin sensor internet hanya mencipatakan ketakutan bagi warganet dalam mengekspresikan pendapatnya di media sosial. "Ini kalau yang diincar media sosial, sudah pasti misinya politik. Lihat saja kasus konten LGBT, sampai sekarang gak pernah tuntas diberantas di internet," sindirnya.
Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengakui, kentalnya warna "politik" dalam pengoperasian mesin sensor tersebut.
"Tadinya katanya sudah dibekali Artificial Inteligence (AI), itu verifikator sampai 40 orang buat apa? Tak ada jaminan sebuah surat yang menyatakan tak terafiliasi salah satu partai politik bebas politik. Baiknya proyek ini disetop saja, buang-buang uang negara," pungkasnya.(dn)