Startup fintech potensi menjadi Unicorn

JAKARTA (IndoTelko) - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara berharap akan lahir unicorn baru dari bidang financial technology (fintech) meskipun level fintech Indonesia masih di bawah negara lain.

“Kita tahu bahwa adoption on fintech di Indonesia jauh di bawah dibanding negara lain. Kita ingin ada fintech yang cepat jadi unicorn,” ungkapnya dalam Acara NextIcorn dengan Asosiasi Fintech Indonesia, seperti dikutip dari laman Kominfo (7/3).

Dikatakannya, fintech lokal jangan membandingkan dengan Tiongkok yang adoption ratenya fintech itu sudah 70% lebih dan India di atas 40%. "Indonesia ini di luar 20 negara yang adoption rate to fintechnya tertinggi. Tapi karena level kita rendah,peluangnya justru menjadi besar. Saya tidak bicara mengenai peluang, tantangan, opportunity di fintech, teman-teman  pelaku lebih tahu. Namun yang jadi pemikiran adalah kapan fintech di Indonesia jadi unicorn," tegasnya.

Menurutnya, perkembangan fintech akan beriring sejalan dengan infrastruktur. "Pemerintah fokus pada infrastuktur dasar untuk berkembang bersama Asosiasi Fintech. Dengan GDP Indonesia saat ini masa tidak ada unicorn di fintech. Kita dorong ekosistemnya, kita berharap apa yang pemerintah lakukan untuk industri fintech akan melahirkan unicorn selanjutnya," tambahnya.

Chief Coordinator of NextIcorn Financial Services David Rimbo mengatakan Indonesia sudah seharusnya memiliki unicorn berbasis fintech. “Indonesia mempunyai prospek dan kondisi geografis, ekonomi, stratafikasi, demografi, yang memang cocok untuk fintech. Contohnya selalu statistik yang dipakai adalah persentase dari penduduk Indonesia yang masih belum mempunyai akun di bank. Itu masih besar sekali karena dibatasi keadaan geografis kita kepulauan," jelasnya.

David Rimbo menyatakan optimistisme fintech akan bisa berkembang pesat di Indonesia. "Cabang bank kebanyakan tersedia di kota-kota besar, kalau fintech bisa digulirkan, masyarakat tidak perlu lagi ke bank. Mereka bisa lakukan transaksi berdasarkan aplikasi fintech untuka belanja, bayar dan transaksi Seharusnya fintech itu harus besar di negara kita," paparnya.

Bukan Rentenir
Sementara Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Adrian Gunadi mengingatkan industri jasa keuangan berbasis teknologi finansial yang bergerak di usaha layanan pinjam meminjam uang (peer-to-peer/P2P lending) tidak dapat disamakan dengan kegiatan renternir.

"Sangat berbahaya jika Otoritas Jasa Keungan (OJK) menyamakan semua model bisnis teknologi finansial sebagai rentenir," katanya.

Sikap Aftech tersebut menanggapi pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang menyamakan kegiatan tekfin (teknologi finansial) sebagai renternir.

Adrian mendorong OJK untuk mengenali perbedaan antara tekfin pinjam meminjam uang dan penyedia layanan yang memberlakukan "pay-day loan" atau pengenaan bunga harian kepada nasabah.

CEO PT Investree Radhika Jaya itu menyatakan bahwa operasi tekfin pinjam meminjam uang tidak beroperasi seperti pemberi bunga harian kepada nasabah.

Menurutnya, operasi dari penyelenggara tekfin pinjam meminjam uang didasari semangat inklusi keuangan untuk menjangkau mereka yang tidak bisa memperoleh pembiayaan dari bank serta nasabah berprofesi non-formal.

Aftech menilai maraknya jenis layanan tekfin pinjam meminjam uang menunjukkan besarnya kebutuhan publik akan akses terhadap pinjaman dana yang kemudian direspons dunia usaha melalui besarnya variasai model pinjaman yang berbeda-beda.

Dalam kesempatan yang sama, CEO Modalku Reynold Wijaya menekankan bahwa tekfin pinjam meminjam uang didorong kebutuhan untuk mendukung pembiayaan UMKM di Indonesia.

"Dibantu tekfin, UMKM diharapkan dapat berkembang. Tekfin dan lembaga jasa keuangan yang sudah ada bersifat saling mendukung dan melengkapi," katanya.

Menurut catatan OJK, pembiayaan senilai Rp998 triliun belum mampu dipenuhi oleh perbankan saat ini. Bank Pembangunan Asia (ADB) mencatat kebutuhan pendanaan sebesar US$57 miliar di Indonesia pada 2017 belum mampu didukung lembaga keuangan formal.(ak)