Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) baru saja menuntaskan hajatan besar pada 30 April 2018 lalu.
Kominfo bersama operator seluler di Indonesia berhasil melakukan registrasi ulang sekitar 400 jutaan nomor prabayar yang beredar di tanah air dengan data berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Hingga 15 April 2018, operator dan Dukcapil melakukan rekonsiliasi nomor yang terdaftar sejumlah 328,3 juta dan pada 24 April 2018 kabarnya nomor yang terdaftar sudah mencapai 350.844.162.
Di balik kesuksesan kegiatan besar yang hanya dijalankan dalam waktu beberapa bulan ini, masih ada Pekerjaan Rumah (PR) belum terselesaikan, salah satunya nasib dari para pemilik outlet yang tergabung dalam Kesatuan Niaga Celullar Indonesia (KNCI).
KNCI masih menuntut perubahan dari Peraturan Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi yang mengatur pembatasan satu NIK untuk registrasi tiga nomor kartu SIM.
KNCI menilai pembatasan penggunaan NIK untuk tiga nomor pertama bagi registrasi mandiri menimbulkan dampak negatif bagi perdagangan seluler oleh masyarakat (outlet atau konter). (Baca: Protes Outlet)
Kartu Perdana bagi para pedagang merupakan komoditas dagang penghasil keuntungan terbesar dibandingkan produk selular lainnya. Contoh produk turunan dari Kartu Perdana adalah Kartu Internet dan nomor cantik.
Bahkan kartu internet saat ini menjadi tren bisnis di bidang selular. Adanya pembatasan (penggunaan NIK) membuat otomatis pasar Kartu Perdana menjadi turun drastis.
Tak Kompromi
KNCI sudah melakukan aksi yang melibatkan massa dalam jumlah lumayan besar sebanyak dua kali. Pertama pada 2 April 2018, kedua di 9 Mei 2018.
Jika dilihat ekskalasi permintaan dari KNCI sudah mulai mengeras yakni pada pencabutan pasal 11 dari Peraturan Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2017 alias tidak ada lagi pembatasan satu NIK untuk registrasi tiga nomor kartu SIM.
KNCI sepertinya sudah dalam tahap "Kesal" dengan regulator yang dianggap mempermainkan nasib mereka sejak 2 April lalu.
Pada tanggal 02 April 2018, KNCI menyelenggarakan unjuk rasa serempak di 25 Kota se-Indonesia.
Hasilnya, dengan difasilitasi Direktur Lem Hub Kementerian Sekretaris Negara, KNCI bertemu Dirjen PPI Kominfo Ahmad Ramli.
Saat itu Dirjen PPI Kominfo secara tertulis menyatakan akan segera merealisasikan sistem registrasi untuk outlet seperti yang dijanjikannya pada tanggal 07 November 2018. Secara lisan disampaikan, akan selesai pada akhir april 2018.
Kurang lebih pada pertengahan April, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengeluarkan Surat Ketetapan BRTI No 02, yang melegalisasikan outlet untuk melakukan registrasi sama seperti gerai operator.
Sayangnya, dalam rapat berikutnya bersama operator dan Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), terungkap Kominfo dan BRTI tetap memerintahkan kepada operator agar membatasi jumlah kartu perdana prabayar yang bisa diregistrasikan oleh outlet.
“Hal ini membuat kami sangat merasa ditipu dan kecewa,” kesal Ketua Umum Kesatuan Niaga Celullar Indonesia (KNCI) Qutni Tysari belum lama ini. (Baca: Kominfo Ingkar Janji)
Sementara dari hasil aksi pada 9 Mei 2018, disepakati pada Senin (14/5) ada pertemuan antara KNCI dengan perwakilan dari pemerintah seperti Menkominfo Rudiantara, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Kantor Staf Presiden, dan Menkopolhukam untuk memutuskan pencabutan pasal 11 dari Peraturan Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2017.
Reaksi KNCI tentu dapat dimaklumi karena Kominfo sendiri banyak membuat "bingung" publik sejak 30 April 2018 dengan sejumlah siaran pers yang ingin menjelaskan "implementasi" dari registrasi. (Baca: Bingung Registrasi)
Inkosistensi yang ditunjukkan Kominfo dalam menjalankan aturan registrasi prabayar membuat Ombusdman Republik Indonesia meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Menkominfo Rudiantara.
"Ketentuan yang berubah-ubah menimbulkan kegaduhan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah," kata Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih. (Baca: Kinerja Rudiantara)
Posisi Rudiantara pun dipastikan pada Senin (14/5) dalam pertemuan dengan KNCI di situasi "panas".
Pasalnya, KNCI sudah menebar ancaman, jika Pasal 11 tak dicabut bisa berimbas kepada pilihan politik dari sekitar 5 juta pelaku UKM di sektor seluler pada 2019 mendatang yakni tak lagi memilih pemerintahan sekarang. (Baca: Ancaman KNCI)
Nah, jika Rudiantara mencabut aturan akan dianggap tak konsisten dalam membuat aturan. Menjalankan beleid tanpa kompromi bisa berdampak ke perolehan "suara" Joko Widodo yang akan kembali maju di Pemilihan Presiden 2019.
Maju kena, mundur kena. Pilih yang mana, Rud?
@IndoTelko