JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan tak terlibat dalam penghentian (suspend) sejumlah akun di platform media sosial milik oposisi yang diributkan warganet jelang Idul Fitri lalu.
"Akun yang di-suspend seperti apa? Akun Twitter? Saya sudah bilang itu bukan pemerintah. Nggak ada yang minta!" tandasnya dalam Open House di rumah dinas Menteri Kominfo di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat (15/6).
Dijelaskannya, suspensi akun bisa disebabkan beberapa hal yakni karena sengaja ditutup oleh pemilik akun, flagging atau alogaritma media sosial.
"Nomor satu secara teoritis yang bersangkutan (sendiri yang menutup) atau kedua, masyarakat melakukan flagging atau (ketiga) berdasarkan alogaritma, Barangkali kalimat konten yang sebelumnya ada bot kemudian disebarkan kembali," ungkapnya.
Rudiantara menyarankan sejumlah langkah agar terhindar dari suspensi. "Hindari posting yang negatif, itu satu. Selanjutnya hindari kemungkinan konten yang (dideteksi) berdasarkan bot, jangan diforward konten yang sama dengan bot. Kalau pegang ponsel, kita ini, mohon maaf, seolah jadi tuhan. Apa saja kita tulis, kan suka-suka kita. Jadi (sebaiknya) kita harus berpikir, ketika di media sosial ini sama seperti di dunia nyata. Ini harapan saya supaya lebih bijak di media sosial," ungkapnya.
Ditegaskannya kembali, pemerintah tidak campur tangan dalam penanganan akun. "Yang jelas pemerintah tidak. Bukan lepas tengan, karena Kominfo tidak melakukan apapun sama sekali. Ngapain ngurusin hal itu? Lebih baik urus yang kita sisir soal konten radikalisme," tandasnya.
Sejak akhir Mei 2018 sampai 1 Juni 2018 menurut Menteri Rudiantara, Kementerian Kominfo susah melakukan blokir atas lebih dari 4 ribu akun dengan konten radikalisme.
"Kami kerja sama dengan Kepolisian, ada permintaan juga dari Polisi untuk melakukan blokir. Sekitar 48 persen itu dari platform Facebook dan Instagram," urainya menjelaskan langkah yang diambil oleh Kementerian Kominfo berkaitan dengan akun yang digunakan untuk menyebarkan konten radikalisme.
Sampai bulan Juni, menurut Menteri Kominfo masih ada sekitar 20 ribuan akun yang disisir untuk dievaluasi dan verifikasi. "Sejak kejadian di Mako Brimob kemudian Surabaya, rata-rata sehari ada 400 - 500 konten radikalisme. Tapi terakhir ini turun dalam sehari ada 50-an saja," katanya.
Berpolitik
Sebelumnya, jelang perayaan Idul Fitri lalu jagad dunia maya ramai dengan tagar #MenghindariSuspend sebagai bentuk satir dari warganet yang selama ini kritis dengan pemerintah karena maraknya suspensi terhadap akun-akun oposisi di media sosial. Salah satu akun yang terkena suspensi oleh Twitter adalah milik Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, @LawanPolitikJKW.
"Twitter harus berpolitik secara demokratis dan jangan jadi kaki tangan penguasa," tulis Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melalui akun Twitter miliknya, Kamis (14/6).
Pimpinan DPR lainnya yakni Fahri Hamzah meminta jika Twitter untuk tidak berpolitik. "Kami tak masalah kamu cari makan di sini. Tapi jangan berpolitik dengan kami. Kami muak diatur-atur sembarangan. Kami bangsa yang sabar tapi tidak suka kalau orang wewenang-wenang. Kami lawan sampai tetes darah penghabisan," cuit Fahri lewat akun Twitter-nya.
Asal tahu saja, masalah pertarungan di media sosial untuk urusan politik memang menjadi hal yang tak mudah diatur. Di Amerika Serikat, hakim pengadilan memutuskan bahwa Presiden Donald Trump dilarang memblokir akun Twitter orang lain yang mengkiritiknya agar tidak bisa melihat profilnya di media sosial tersebut. Menurut hakim, akun Twitter presiden adalah forum publik bagi seluruh warga Amerika.
Jika Presiden Trump memblokir akun orang yang tak disukainya, maka hal itu masuk kategori melanggar hak kebebasan berbicara.
Putusan itu disampaikan Hakim Distrik New York Selatan, Naomi Reice Buchwald, pada hari Rabu waktu setempat. Menurutnya, akun Twitter presiden—@realDonaldTrump—adalah "forum publik yang ditunjuk" terbuka untuk semua warga negara AS.
Akun tersebut memiliki 52,2 juta pengikut (follower) dan Trump menggunakannya untuk mengumumkan kebijakan pemerintahannya.
Putusan hakim itu muncul atas gugatan Knight First Amendment Institute di Columbia University dan tujuh orang yang akunnya diblokir oleh Trump setelah mereka mengkritik pemimpin Gedung Putih tersebut.
Hakim Buchwald, dalam pendapatnya setebal 75 halaman, mengatakan pemblokiran kritik terhadap Trump melanggar hak kebebasan berbicara dari para pengguna Twitter yang dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi.
The Knight Institute mengajukan gugatan terhadap Presiden Trump dan pembantunya sejak Juli lalu atas nama tujuh orang yang diblokir oleh Presiden Trump via akun @realDonaldTrump setelah mereka mengkritiknya.
Hakim Buchwald mendukung argumen Knight Institute bahwa tindakan presiden melanggar Amandemen Pertama dengan mendistorsi perdebatan di rangkaian komentar, dan dengan merampas pengikut akun @realDonaldTrump yang akan diungkapkan oleh mereka yang telah diblokir.
Menurutnya, meskipun kritik terhadap presiden sensitif, namun dia tidak dapat menggunakan hak-hak yang tercantum dalam Amandemen Pertama itu dengan cara yang melanggar hak dari mereka yang telah mengkritiknya.(id)