Avanti Communications Limited (Avanti) memberikan kado yang mengagetkan bagi industri telekomunikasi Indonesia jelang lebaran lalu.
Perusahaan asal Inggris ini mengumumkan bahwa sidang arbitrase yang dijalaninya dengan Kementrian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia berhasil dimenangkan operator satelit itu.
Dalam situs resminya (7/6) dinyatakan, proses arbitrasi dimulai pada 9 Agustus 2017 dibawah London Courts of International Arbitration melawan Kemenhan terkait pembayaran untuk sewa satelit ARTEMIS miliknya.
Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase memutuskan Kemenhan harus membayar Avanti US$ 20,075 juta dengan batas waktu 31 Juli 2018.
Keluarnya putusan ini lebih cepat dari perkiraan yang diprediksi yakni akhir tahun 2018.
Masalah
Merujuk kepada siaran pers resmi di situs Kemenhan pada 14 Mei 2018, instansi ini mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur (123 BT), sementara menunggu satelit baru diluncurkan.
Upaya ini harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan slot orbit dan spektrum frekuensi L-Band agar Indonesia tidak kehilangan hak atas pengelolaan. (Baca: Kasus Avanti)
Sesuai kontrak, pihak Avanti menempatkan satelit Artemis pada slot Orbit 123 BT terhitung mulai tanggal 12 November 2016.
Langkah yang diambil oleh Kemehan tersebut, berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo pada rapat terbatas yang dilaksanakan tanggal 4 Desember 2015 yang telah memerintahkan agar slot orbit 123 BT diselamatkan untuk kemudian dikelola oleh Indonesia.
Apabila Kemenhan dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak melakukan langkah-langkah penyelamatan maka hak pengelolaan Slot Orbit 123 BT tersebut akan hilang sejak Januari 2018. Berkat langkah-langkah yang cepat dan strategis, pemerintah berhasil menyelamatkan Slot Orbit 123 BT sampai dengan 1 November 2020.
Sementara permasalahan dengan Avanti mulai terjadi sejak Kemenhan tidak dapat memenuhi pembayaran sewa satelit sejak akhir tahun 2016 hingga 2017 sesuai kontrak.
Setelah berbagai upaya negoisasi dilakukan oleh Kemhan menemui kegagalan, maka Avanti secara resmi mengajukan gugatan pada 10 Agustus 2017 melalui London Courts of International Arbitration dan mengeluarkan Satelit Artemis dari Slot Orbit 123 BT pada November 2017.
Kabar tersiar menyatakan Kemenhan baru membayar US$13,2 juta dari total kontrak US$30 juta hingga berakhir dengan keputusan arbitrase oleh Avanti. Kegagalan pemerintah membayar sisa biaya sewa satelit disebabkan pencairan dana yang tidak bisa dilakukan Kementerian Keuangan. Anggaran tidak dicairkan lantaran belum ada kesamaan rencana strategis soalnya penyewaan satelit antara TNI dan Kemenhan.
Nilai Strategis
Slot orbit 123 BT sendiri nilainya sangat strategis bagi Indonesia. Slot ini biasanya diperuntukkan bagi satelit dengan spesifikasi L-band yang beroperasi di ketinggian 36.000 Km, sebagai penunjang peran komunikasi. Satelit di slot ini bisa berjalan di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-.
Keberadaan Satelit L-Band di Slot Orbit 123 BT dapat memenuhi kriteria kebutuhan tersebut karena memiliki kemampuan untuk menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan keamanan
Selain itu keberadaan satelit Indonesia di Slot Orbit 123° BT menjadi sangat penting dan vital bagi Pertahanan Negara Indonesia mengingat letaknya berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira berada di atas Pulau Sulawesi.
Indonesia sendiri telah mengumumkan akan meluncurkan satelit komunikasi militer buatan konsorsium Eropa Airbus Defence and Space pada 2019 yang akan menempati slot orbit 123 BT.
Airbus ditunjuk Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menggarap satelit militer itu setelah memenangi tender yang juga diikuti oleh Orbital Sciences Corporation asal Amerika Serikat, Loral Space & Communications asal AS, serta satu perusahaan satelit asal Rusia.
Anggaran yang diajukan untuk proyek satelit ini senilai US$849,3 juta. Anggaran itu telah disetujui oleh Komisi Pertahanan DPR, dengan pembiayaan berskema tahun jamak selama lima tahun.
Sayangnya, tersiar kabar Airbus menyatakan kontrak dibatalkan karena Indonesia tak kunjung bayar uang muka proyek penggaran satelit militer. Padahal, dalam APBN 2016-2017, telah dianggarkan sekitar Rp 1,3 triliun untuk uang muka pembelian satelit tersebut.
Bukan Pertama
Kisah Indonesia menghadapi "gejolak" dalam pengelolaan slot orbit bukan pertama kali ini saja terjadi.
Beberapa tahun lalu, pengelolaan slot orbit 150,5 derajat bujur timur (BT) "terancam" akan lepas dari Indonesia, namun bisa diselamatkan dan akhirnya ditempati satelit BRISat milik BRI.
Filing satelit Palapa PAC-C 146E dan Palapa PAC-KU 146E sempat terancam penghapusan International Telecommunication Union (ITU), namun bisa diselamatkan juga oleh pemerintah. (Baca: Slot orbit)
Belajar dari pengalaman selama ini, slot orbit bisa "diselamatkan" pengelolaannya, asalkan negara yang diberikan hak pengelolaan mampu datang dengan "proposal" menyakinkan ke ITU untuk optimalisasi slot.
Nilai "Proposal" menjadi berarti bagi ITU, karena slot orbit adalah sumber daya terbatas dan banyak pihak yang antri ingin memanfaatkan. Indonesia saja hanya punya tujuh slot orbit yang dikelolanya.
Solusi
Lantas apa yang harus dilakukan Indonesia agar slot orbit 123 BT tak lepas dari pangkuan?
Jika merujuk ke rilis dari Kemenhan, hingga November 2020 slot tersebut masih dianggap dikelola Indonesia. Bagaimana pasca tanggal tersebut? Tentunya, sejak sekarang Kominfo harus mengajukan ijin ke Radio Regulation Board (RRB) ITU.
Proposal yang dibuat tentunya harus "menarik" dan "realistis" untuk dijalankan. Belajar dari kasus yang terjadi antara Avanti dan Kemenhan, ada baiknya pemerintah memikirkan solusi lain untuk pengelolaan slot orbit 123 BT.
Solusi pertama, bisa saja pemerintah "menugaskan" Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola slot orbit 123 BT.
Solusi ini layak dipertimbangkan mengingat satelit ini akan banyak digunakan untuk komunikasi militer, sehingga jika dikelola BUMN tentu unsur kepentingan negara akan diutamakan.
Menugaskan BUMN untuk mengelola juga akan memudahkan dari segi pendanaan, berbeda jika instansi pemerintah karena hanya mengandalkan APBN.
Pemanfaatan transponder milik satelit BUMN oleh instansi pemerintah bisa dilihat di satelit BRISat dimana menyerahkan pemanfaatan 4 slot transponder kepada 5 Kementerian dan Lembaga Negara Indonesia.
Kementerian dan Lembaga Negara tersebut diantaranya yakni Kepolisian Negara RI, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara RI, Badan Keamanan Laut dan Kementerian Keuangan RI. (Baca: Satelit BRISat)
Jika BUMN yang ditugaskan, tinggal "dibereskan" isu berapa transponder yang harus didedikasikan bagi kepentingan pertahanan, dan sisanya tentu untuk menunjang bisnis dari perusahaan pelat merah yang akan ditunjuk.
Solusi kedua yang layak dipertimbangkan pemerintah dalam "proposal" terbarunya ke ITU adalah mengubah pengadaan satelit multifungsi yang akan diadakan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Seperti diketahui, BAKTI akan menggelar lelang penyediaan layanan High Throughput Satellite (HTS) tahun ini. Layanan satelit HTS kala mengangkasa akan melayani 149.400 lokasi layanan terdiri atas sekitar 93.900 sekolah, 47.900 kantor pemerintahan, 3.900 kantor polisi/TNI, dan 3.700 Puskesmas dengan kecepatan akses internet 30 Mbps.
Kapasitas yang diharapkan dari satelit ini adalah 150 Gbps untuk seluruh Indonesia. (Baca: Satelit HTS)
Pemerintah bisa mengubah pengadaan satelit multifungsi ini dengan mengakomodasi kebutuhan militer dan tentunya peserta tender lebih diperketat dengan tidak cukup hanya swasta nasional tetapi harus ada unsur BUMN jika berbentuk konsorsium.
Secara prinsip, memanfaatkan slot 123 BT untuk koneksi internet bisa dilakukan walau kecepatannya tak semaksimal HTS. Tetapi, benchmark sudah ada di dunia dengan merujuk yang dilakukan operator Inmarsat sebagai penguasa L band.
Jika dilihat kondisi kekinian, memodifikasi pengadaan satelit multifungsi ini rasanya paling realistis dan pilihan rasional dijalankan pemerintah atas nama "Kerja Bersama" yang selalu didengungkan Kabinet Kerja.
Kunci sukses dari opsi kedua ini tentunya adanya perintah dari Presiden agar tidak ada ego sektoral antar lembaga sehingga kedaulatan bangsa bisa dijaga dan investasi yang dikeluarkan lebih efisien.
@IndoTelko