JAKARTA (IndoTelko) - Komunitas penggiat ekonomi digital yang tergabung dalam Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) meminta pemerintah untuk tidak meloloskan permintaan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tambahan anggaran untuk memperkuat infrastruktur Teknologi Informasi (TI) dari lembaga tersebut.
"Kami meminta pemerintah untuk tidak begitu saja meloloskan permintaan KPU terkait tambahan anggaran untuk TI. KPU harus terbuka dulu ke publik soal penyebab sering gagalnya layanan TI dari KPU, terutama soal situs yang down di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kemarin. Jika isu itu belum selesai, jangan kasih tambahan anggaran," pinta Ketua Umum IDIEC M. Tesar Sandikapura dalam keterangan, (13/7).
Menurut Pria yang sudah mengembangkan berbagai aplikasi ini, sebuah peristiwa anomali atau insiden di TI selalu ada penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk diatasi dan tak terulang. (Baca: Situs KPU tumbang)
"Situs KPU dalam catatan kami berulang kejadian down. Ini artinya bukan masalah di anggaran kurang, kalau KPU terbuka, undang pihak independen untuk audit masalahnya agar publik percaya. Kita cinta demokrasi, mari kita benahi bersama dari akarnya, yaitu penyelenggara yang akuntabel," tukasnya.
Menurut Dewan Pembina IDIEC Mochamad James Falahuddin insiden matinya server KPU selama Pilkada serentak lalu sesuatu yang luar biasa. "Dan tindakan KPU yang dengan sengaja mematikan server dengan alasan untuk mencegah aksi peretasan itu sesuatu yang aneh bin ajaib," kata Pria yang memiliki sertifikasi untuk urusan keamanan informasi itu.
James mendesak, jika memang ada permintaan tambahan anggaran sebesar Rp 35 miliar dari KPU untuk memperkuat infrastruktur TI, harus terlebih dahulu dilakukan audit forensik atas klaim "serangan" yang terjadi.
"Apalagi kalau ternyata permintaan Rp 35 miliar itu konon katanya hanya untuk server, padahal belum tentu permasalahan yang ada terkait dengan perangkat keras," selanya.
Dalam pengamatan James, insiden yang terjadi usai pencoblosan itu dicurigai permasalahan ada di design aplikasi ditambah infrastruktur, dan tata kelolanya.
"Kalau masalah disitu, tak akan selesai dengan sekadar nambah server. Jadi, kalau gak ada kajian yang mendalam dan "jujur" dari pihak KPU, sangat mungkin anggaran Rp 35 miliar itu akan menjadi pemborosan," katanya.
Diingatkannya, sebagian besar insiden cybersecurity itu terjadi karena faktor kelalaian manusianya. Untuk membuktikan "kesalahan" ada dimana, sewajarnya ada audit forensik yang mencakup urusan teknis dan non teknis di infrastruktur TI milik KPU.
"Memang urusan TI ini terlihat "ribet" karena semua jelas aturan mainnya. Kalau tak mau ribet, saya ada usulan yang "cepat" yaitu cabut saja kabel listrik servernya, pasti gak akan ada masalah. Seperti tulisan di situs KPU waktu down kan bagus tuh, untuk meningkatkan kualitas layanan, sementara dimatikan dulu," sindirnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, lembaganya meminta tambahan anggaran dana kepada Presiden Joko Widodo ketika audiensi di Istana Negara. Tambahan dana itu untuk memperlancar penyelenggaraan Pemilu 2019.
Komisioner KPU Viryan menjelaskan, salah satu elemen yang dibutuhkan dengan anggaran hingga Rp 35 miliar tersebut diperuntukan untuk server. Selain itu masih ada kebutuhan untuk aspek lainnya.
"Nah buat itu 35 miliar. Jadi kita akan melakukan penguatan IT KPU, salah satu elemen penguatannya adalah server. Tapi ada lagi yang lain. 35 miliar itu baru nilai server. (Tapi) itu belum final (yang 35 M)," Viryan menjelaskan.
Diklaimnya, Presiden Jokowi telah setuju dengan permintaan tambahan anggaran yang disebut sebagai Akselerasi Penguatan IT KPU (APIK).(dn)