JAKARTA (IndoTelko) – Negara-negara di Asia Tenggara dinilai makin gencar menggunakan Artificial Intelligence dimana tingkat adopsi saat ini berada di posisi 14% naik dibandingkan tahun lalu 8%.
Demikian salah satu temuan dari hasil penelitian SAS dan IDC bertajuk IDC Asia/Pacific Enterprise Cognitive/AI Survey.
Survei IDC Asia/Pacific Cognitive /AI adalah studi tahunan yang dilakukan untuk memahami tren pengadopsian, tantangan dan hambatan utama, dan prioritas bisnis di industri. Pada 2018, total 502 eksekutif dan kepala lini bisnis IT di Asia Pasifik (kecuali Jepang), yang disurvei termasuk 146 responden dari Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand).
Dalam laporan itu dinyatakan bagi lebih dari setengah responden (52%), menemukan insight bisnis yang lebih baik adalah pendorong paling utama bagi mereka untuk mengadopsi AI, naik dari sebelumnya hanya ada di uturan ketiga pada 2017.
Ini artinya, perusahaan di kawasan ini makin dewasa dalam cara mereka memasukkan AI untuk meningkatkan bisnisnya. Pendorong penting lainnya adalah peningkatan otomatisasi pada proses (51%) dan meningkatkan produktivitas (42%).
Dengan 24,6% perusahaan di Indonesia mengadopsi AI, Indonesia memimpin dalam hal pengadopsian, diikuti oleh Thailand (17,1%), Singapura (9,9%) dan Malaysia (8,1%). Penggunaan tertinggi di Asia Tenggara termasuk algoritma untuk estimasi market (17%) dan pengelolaan aset dan infrastruktur terotomatisasi (11%).
Global Research Director, Big Data and Analytics and Cognitive/AI, IDC Asia/Pacific Chwee Kan Chua mengatakan ada peluang yang besar supaya lebih banyak perusahaan di Asia Tenggara memanfaatkan AI untuk menciptakan diferensiasi value.
“Kami berharap investasi di AI akan terus meningkat, karena semakin banyak perusahaan mulai memahami manfaat dari menanamkan AI ke dalam bisnis mereka dan bagaimana data dan analisis dapat membantu menghasilkan insight baru. Perusahaan yang tidak memasukkan AI dalam operasi bisnis mereka akan kalah dengan mereka yang sudah memiliki AI dan akan mendapatkan keuntungan dari ketepatan, efisiensi dan kelincahan inovasi yang lebih besar, sebagai hasil dari analitik tingkat lanjut,” katanya dalam keterangan (18/7).
Diungkapkannya, strategi yang masih berubah-ubah, dengan biaya tinggi dan kurangnya bakat yang terampil, adalah hambatan terbesar
Meskipun ada peningkatan pengadopsian AI, perusahaan di kawasan ini masih berada di belakang negara-negara Asia bagian Utara dalam hal menjadikan AI sebagai agenda strategis.
Sebagai contoh, lebih dari 80% perusahaan di Tiongkok dan Korea Selatan percaya kapabilitas AI sangat penting bagi kesuksesan dan daya saing perusahaan pada tahun-tahun mendatang, dibandingkan dengan kurang dari 40% perusahaan di Singapura dan Malaysia.
Kekurangan skill dan pengetahuan (23%) dan tingginya biaya solusi (23%) adalah hambatan yang paling banyak dialami responden yang disurvei, dalam kaitan pengadopsian AI.
Untuk memantapkan strategi mereka pindah ke AI dalam rangka mendiferensiasi bisnisnya, perusahaan-perusahaan mendapatkan data dari penjualan, perdagangan, dan pemasaran yang paling siap, kemudian diikuti kegiatan layanan pelanggan dan support, serta TI, kegiatan security & risk.
Bagi mereka yang sudah menjalankan strategi data-menjadi-insight, ada berbagai tantangan di berbagai sektor.
Perusahaan di bidang layanan keuangan menghadapi lebih banyak tantangan dalam penggabungan data dan pembuatan model. Sementara perusahaan sektor publik akan berhadapan dengan masalah keterbacaan data.
Indonesia
Dengan 14% lompatan dalam pengadopsian AI sejak 2017, makin tingginya penggunaan AI di Indonesia terjadi berkat pertumbuhan yang cepat perusahaan Internet di negeri ini.
Indonesia sedang mengalami peningkatan persaingan perusahaan-perusahaan teknologi—yaitu mereka menyediakan layanan angkutan online, pembiayaan mikro, mobile, dan eCommerce, begitu juga gaming.
Besarnya jumlah populasi dan lonjakan pengeluaran dalam pembangunan infrastruktur, sangat mirip dengan market di Tiongkok, di mana kesuksesan bisnis yang didukung oleh inovasi dan disrupsi digital, telah banyak dibicarakan.
Meski Indonesia memiliki persentase tertinggi dibandingkan negara ASEAN lain yang disurvei, dalam hal pengadopsian AI, negara ini juga punya persentase tertinggi dalam hal ketiadaan rencana mengadopsi AI pada 5 tahun ke depan (59%), ini merefleksikan adanya dikotomi antara peningkatan bisnis digital dan besarnya bisnis tradisional. Untuk jenis bisnis terakhir ini, masih banyak hambatan sebelum terjun ke dunia digital.
Sebanyak sepertiga perusahaan di Indonesia mengindikasikan bahwa investasi di AI telah mendorong contoh-contoh penggunaan yang populer, macam pemrosesan klaim secara otomatis, dan pendeteksian kecurangan.
“Indonesia adalah market yang sempurna untuk berkembangnya AI. Fundamental dari AI dan analitik betul-betul bergantung pada ketersediaan data dan Indonesia saat ini sudah pasti memiliki volume dan skala data yang tepat, yang jelas sekali akan menjustifikasi perlunya berinvestasi di AI,” tutur Country Manager, SAS Indonesia Peter Sugiapranata.
Dikatakannya, tantangan bagi Indonesia adalah untuk benar-benar membayangkan bagaimana AI dan analitik dapat menjadi pendiferensiasi bisnis. Ini dimulai dengan menetapkan outcome dan menyusun langkah yang jelas dari data ke inovasi.
Akses ke sumber daya juga dapat menjadi hambatan, tetapi ada pilihan saat ini untuk membuat data insight dapat diakses tidak hanya oleh saintis dan pakar data, tetapi oleh siapapun dari berbagai tingkatan di perusahaan. Solusi tersebut dapat mempercepat adopsi AI di Indonesia dan membantu menjadikan analitik sebagai kekuatan pendorong yang sesungguhnya bagi perekonomian.(wn)