Kominfo diminta lebih aktif hadapi persekusi digital

ilustrasi

JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diharapkan untuk lebih katif menghadapi persekusi digital yang kian marak terutama dari institusi Financial Technology (Fintech) lending.

“Saya melihat Kominfo gak aktif, baik dari sisi edukasi atau antisipasi. Itu Fintech kan well educated people, harusnya lebih mudah diedukasi soal larangan persekusi digital. Jangan karena merasa Fintech dibawah OJK, Kominfo tak bisa jangkau.  Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) itu kan lead sector di Kominfo,” tegas Pengamat Telekomunikasi M Ridwan Effendi dalam pesan singkat (23/7).

Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai harus ada audit teknis terhadap aplikasi dari Fintech Lending guna mengantisipasi terulangnya persekusi digital.

“Biasanya ada klausul apps permission untuk akses data di smartphone. Ini biasanya hanya meminta ijin si pemilik data, tapi kan gak ada opsi sejauh mana ijin data itu boleh digunakan,” ulasnya. (Baca: Kasus Rupiah Plus)

Menurutnya, jika merujuk ke Pasal 43 UU ITE, Pejabat Peawai Negeri Sipil (PPNS) bisa juga melakukan penyelidikan jika ada pelanggaran UU ITE. “Harapannya Kominfo harus step in ke kasus Fintech yang ramai kemarin. OJK kan bilang kalau soal UU ITE tunggu Kominfo, kalau semua saling tunggu ini kasus bisa hilang bak butiran debu kebawa waktu,” tukasnya.

Sebelumnya Menkominfo Rudiantara menilai tindakan persekusi digital yang dilakukan Fintech Lending melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) serta Peraturan Menteri Kominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016).   

Disebutkan di UU ITE pada Pasal 26 Ayat 1 bahwa kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

Peraturan Menteri Kominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016) yang berlaku sejak Desember 2016 tersebut, perlindungan data pribadi mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi.

Menurut PM 20/2016, sistem elektronik yang dapat digunakan dalam proses perlindungan data pribadi adalah sistem elektronik yang sudah tersertifikasi dan mempunyai aturan internal tentang perlindungan data pribadi yang wajib memperhatikan aspek penerapan teknologi, sumber daya manusia, metode, dan biayanya.

Pemilik data pribadi, menurut Permen PM 20/2016, berhak atas kerahasiaan data miliknya; berhak mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengket data pribadi; berhak mendapatkan akses untuk memperoleh historis data pribadinya; dan berhak meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik. Hal terkait hak ini diatur dalam Pasal 26 PM 20/2016.

Setiap penyelenggaran sistem elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan perlindungan rahasia data pribadi.

Sebelumnya, di media sosial sempat diviralkan mengenai kasus terjadinya beberapa macam tindakan yang merugikan nasabah yang dilakukan oleh aplikasi Rupiah Plus.

Tindakan tersebut di antaranya penagihan utang nasabah dengan cara mengancam, mengintimidasi, serta penagihan ke pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan nasabah.

Rupiah Plus merupakan salah satu aplikasi layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi dan calon peminjam dapat mengajukan pinjaman tanpa agunan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima banyak aduan terkait cara penagihan Rupiah Plus yang dinilai bermasalah dan merugikan konsumen. Pengaduan ini sudah diterima dari bulan Januari hingga Juni 2018.

YLKI menyesalkan tindakan Rupiah Plus yang menagih pembayaran kredit dengan menyalahgunakan daftar nomor kontak di ponsel si nasabah. Padahal, orang yang dihubungi dari daftar nomor kontak itu banyak yang tidak tahu menahu soal pinjaman tersebut.   

YLKI menilai tindakan itu tidak hanya melanggar perlindungan konsumen, tetapi juga menganggu privasi orang lain yang tidak terkait pinjaman tersebut. Tindakan ini melanggar UU ITE pasal 26 tentang data pribadi. Selain itu juga melanggar pasal 27 hingga 29 dari UU ITE.(id)