Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2018 lalu memulai sidang perdana gugatan masyarakat informasi Indonesia yang tergabung dalam kaukus Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) dan Indonesia ICT Institute (IDICTI) terkait skandal Cambridge Analytica di platform Facebook yang dianggap merugikan masyarakat Indonesia.
Dalam gugatannya, kedua lembaga ini menuntut kerugian materiil berupa biaya data internet untuk mengakses Facebook sebesar Rp 20 ribu untuk setiap pengguna Facebook atau total untuk satu juta pengguna Facebook sebesar Rp 20 miliar yang data-data pribadinya telah disalahgunakan dan/atau dibocorkan.
Sedangkan kerugian imateriil berupa beban mental dan tekanan psikologis yang telah membuat keresahan, kekhawatiran, ketidak nyamanan, dan menimbulkan rasa tidak aman terhadap para pengguna Facebook di Indonesia, dengan nilai sebesar Rp 10 juta untuk setiap pengguna facebook atau total untuk satu juta pengguna Facebook sebesar Rp 10 triliun yang data-data pribadinya telah disalahgunakan dan/atau dibocorkan.
Salah satu "modal" dari penggugat melayangkan gugatan tak bisa dilepaskan dari paparan Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hatari dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI beberapa waktu lalu yang menjelaskan posisi Facebook dengan kasus Cambridge Analytica.
Dalam paparannya dinyatakan dimulai pada tahun 2013, sebuah aplikasi “thisisyourdigitallife” dikembangkan oleh seorang peneliti bernama Aleksandr Kogan.
Facebook mengungkapkan ada 784 orang di Indonesia memasang aplikasi ini, atau 0,2% dari seluruh pengguna. Total ada 1.096.666 orang di Indonesia atau sekitar 1,26% dari total jumlah orang yang terkena dampak secara global.
Kogan pada saat itu adalah seorang akademisi di Cambridge University saat mengembangkan aplikasi. Setelah mendapatkan data pengguna Facebook, data tersebut kemudian diberikan ke Cambridge Analytica
Mangkir
Melihat jalannya sidang perdana, sepertinya jalan terjal tengah dimulai oleh para penggugat.
Kuasa hukum IDICTI dan LPPMII, Jemy Tommy menceritakan sidang perdana berjalan singkat, hanya 30 menit karena Facebook Global (Tergugat I) dan Cambridge Analytica (Tergugat 3) mangkir. Padahal surat untuk keduanya telah resmi dikirim ke mereka melalui Kementerian Luar Negeri RI. Sedangkan Facebook Indonesia sebagai Tergugat 2, juga mangkir sidang karena beralasan ada kesalahan nama.
"Mereka maunya disebut atau ditulis sebagai PT Facebook Consulting Indonesia sesuai nama yang terdaftar di Dirjen AHU Kemenkumham," ujar Jemy.
Dalam kasus sengketa, dalih mangkir karena kesalahan nama hal yang biasa. Hal-hal kecil bisa menjadi alasan dasar bagi tergugat untuk mengulur persidangan. Adapun saat majelis hakim perkara gugatan class action membacakan tulisan relaas panggilan sidang facebook Indonesia isinya menyatakan facebook Indonesia tidak ada, yang ada facebook consulting indonesia.
Majelis hakim pun sepertinya paham dengan mengagendakan sidang berikutnya dilanjut pada 27 November 2018. Hakim juga memerintahkan untuk panggilan kedua sekaligus panggilan terakhir kepada semua tergugat. Harapannya panggilan terakhir ini bisa memberikan kesempatan kepada tergugat untuk hadir di sidang berikutnya.
Dalam sidang, agenda sidang berikutnya adalah sidang materi pokok, bukan mediasi. Kebijakan hakim ini melihat lantaran tergugat mangkir dari sidang tanpa keterangan apa pun. (Baca: Pengadilan Facebook)
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Class Action, sebelum masuk pada materi pokok gugatan, penggugat dan tergugat memungkinkan melalui proses mediasi. Jika pada sidang perdana tergugat dihadiri kuasa hukumnya, maka terbuka untuk melalui proses mediasi.
Minim Dukungan
Sayangnya, hingga sidang perdana, belum terlihat dukungan maksimal dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam upaya gerakan sipil ini menegakkan wibawa bangsa di depan investor asing ini. (Baca: Kominfo dan Facebook)
Hal itu terlihat dari belum dibukanya ke publik surat yang dikirimkan Facebook terkait skandal Cambridge Analytica di Indonesia dan langkah Kominfo yang memperpanjang masa aduan dari pelanggan jika merasa datanya dibocorkan pemilik platform itu.
Aksi yang diambil Kominfo berbeda dengan Information Commissioner’s Office di Inggris yang terlihat aktif selama berbulan-bulan melakukan penyelidikan dan rela merogoh kocek lumayan dalam untuk membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan Facebook.
Asal tahu saja Facebook ketika berhadapan dengan hukum di beberapa negara lain mengklaim bahwa Alexander Kogan yang salah karena telah menjual data pribadi pengguna ke pihak Cambridge Analityca.
Cambridge Analityca pun juga diklaim salah karena menyalahgunakan data pribadi pengguna Facebook untuk kepentingan kampanye, dan terakhir jejaring sosial ini di Amerika Serikat mengklaim pengguna dianggap tidak berhak menuntutnya karena kebocoran data pribadi, mengingat 87 juta pengguna sendiri mengijinkan penggunaan data pribadi.
Melihat jurus berkelit dari Facebook, rasanya hal yang wajar jika berharap ada langkah beriringan antara gerakan sipil dan Kominfo untuk menaklukkan jejaring sosial itu di pengadilan.
Misalnya, Kominfo menunjukkan dukungannya dengan menjadi tergugat intervensi dalam kasus yang diusung Kaukus Masyarakat Informasi ini untuk menunjukkan negara bersama rakyatnya berjuang menuntut keadilan. Sebuah aksi heroik yang menarik ditunggu dari Kominfo oleh rakyat.
@IndoTelko