Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (US$/USD) di awal September 2018 mulai membuat pelaku usaha di Indonesia waspada.
Rupiah yang mendekati angka psikologis baru yaitu Rp15 ribu/USD membuat pengusaha, termasuk di industri telekomunikasi dan teknologi informasi, bersiap merevisi sejumlah aksi korporasi agar bisa bertahan menghadapi gejolak ekonomi.
Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,61% melawan dolar AS di pasar spot, dari Rp 14.725/USD menjadi Rp 14.815/USD.
Pelemahan rupiah terhadap dollar AS diperkirakan akan berlanjut walau di akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) sanggup menahan laju penurunan.
Pemicunya adalah semakin mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve (The Fed).
Data tenaga kerja merupakan salah satu pertimbangan utama the Fed dalam menentukan kebijakan suku bunganya.
Data lainnya yang digunakan oleh the Fed adalah inflasi, dimana terkait hal ini the Fed disebut-sebut menggunakan Core Personal Consumption Expenditure (PCE) Index sebagai patokannya.
Sementara Bank Indonesia mengumumkan cadangan devisa per Agustus di level US$ 117,9 miliar, turun US$ 410 juta dari periode sebelumnya.
Posisi ini merupakan yang terendah sejak Januari 2017. Penurunan cadangan devisa terjadi seiring dengan langkah BI dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Kombinasi isu penetapan suku bunga dari The Fed dan kondisi cadangan devisa sepertinya akan menjadi faktor kembali "meriangnya" rupiah masuk minggu kedua September besok.
Dampak Negatif
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan depresiasi yang dialami rupiah terhadap dollar AS memiliki dampak negatif yang lebih besar bagi ekonomi tanah air.
Menurut Apindo, ketika Rupiah melemah ada dua dampak, dari sisi ekspor diuntungkan. Tapi dari sisi lain memberikan dampak negatif yang lebih besar.
Sisi negatifnya adalah bahan baku untuk produksi banyak impor, sehingga otomatis nilai produksi menjadi mahal.
Pemerintah Indonesia yang tadinya berharap ekonomi akan berputar kencang pasca menurunkan suku bunga sepertinya harus putar otak agar krisis tak hinggap di Indonesia.
Tadinya, pemerintah berharap dengan suku bunga diturunkan, sektor rill berlari kencang, pariwisata bergairah, cadangan devisa meningkat, ekspor tumbuh, serta terjadi investasi langsung.
Sayangnya, memasuki usia ke-4 dari kabinet kerja, tanda-tanda peningkatan tak terjadi di semua sektor walau secara fundamental ekonomi lumayan kuat.
Pemerintah pun akhirnya mengambil beberapa kebijakan untuk membuat rupiah kembali berotot di antaranya dengan menurunkan defisit fiskal, memberlakukan B20, menjadwal ulang beberapa proyek infrastruktur yang belum dibangun, serta menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk 1.147 barang konsumsi impor seperti elektronik, sabun, sampo, kosmetik, hingga lemari es.
Tahun lalu, nilai impor keseluruhan dari 1.147 item barang ini mencapai US$ 6,6 miliar. Tapi, di tahun ini angka impornya sudah mencapai US$5 miliar (sampai dengan Agustus 2018). Penyesuaian tarif PPh 22 ini, diharapkan bisa menyelamatkan nilai tukar rupiah.
Waspada
Di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang masih dominan belanja modal menggunakan dollar AS sudah mengeluarkan sinyal untuk melakukan pengetatan agar bisa bertahan.
Hal yang wajar dilakukan karena selama ini belanja modal dari operator telekomunikasi 50% habis untuk beli barang dengan dollar AS, sementara pendapatan dalam rupiah.
Tak hanya operator, para pemain konten pun sudah terbiasa berurusan dengan dollar AS dalam bertransaksi, mulai dari bayar server hingga belanja konten, masih didominasi dari luar negeri.
Vendor ponsel pun walau sudah ada aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh dollar AS karena komponen masih impor. Ditambah ada revisi fiskal, dijamin vendor ponsel sedang putar otak agar harga jual tak terkerek tinggi.
Sebenarnya, para pemain di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi sudah belajar dari krisis ekonomi 1998 dan 2008.
Praktik hedging (lindung nilai) dan mengurangi utang dalam dollar AS sudah banyak dilakukan pengusaha guna mengurangi eksposur dari fluktuasi kurs. Pelaku usaha kabarnya sejak tahun lalu sudah mematok nilai rupiah untuk hedging di Rp 15.000/USD.
Hal yang diluar prediksi pelaku usaha adalah angka psikologis baru dari Rupiah bisa menembus Rp 15.000/USD yang membuat diperlukan re-hedging dan kembali melakukan refinancing.
Melakukan re-hedging artinya merogoh kantong lumayan dalam karena biaya untuk merealisasikan tentu naik.
Sementara dari sisi konsumsi sepertinya masyarakat tak akan meningkatkan daya belinya walau barang telekomunikasi dan teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan pokok.
Alhasil, ibarat pesawat yang tengah masuk awan gelap, hal yang wajar para penumpang mengencangkan ikat pinggang dan mempercayakan kepada kemampuan pilot agar selamat selama penerbangan.
@IndoTelko