Entah apa yang ada di pikiran para petinggi GO-JEK sejak Jumat (12/10) malam pasca beredarnya postingan dari status Facebook dengan nama akun Brata Santoso di media sosial (Medsos).
Dalam penelusuran di LinkedIN, nama Brata Santoso adalah VP of Operations and Business Development GO-JEK.
Walau Brata sudah menghapus postingan tersebut, namun jejak digital yang tersebar di Twitter dan Facebook memperlihatkan pernyataan tentang dukungan pada Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau LGBT yang dibuatnya.
Tak hanya itu, Brata dalam catatannya menceritakan tentang kampanye internal yang dilakukan GO-JEK dengan tema #GoingALLin yang menerima perbedaan dalam perusahaan termasuk soal preferensi seksual.
Dituliskan ada 30 lebih karyawan GO-JEK yang merupakan LGBT dan gerakan #GoingALLin itu mendapat dukungan banyak pihak.
Di era media sosial menjadi wadah ekspresi, sontak saja warganet menjadi heboh sejak Jumat (12/10) dan berlanjut hingga minggu (14/10) dimana tanda pagar (Tagar) #UninstallGojek memuncaki Trending Topic twitter sejak Sabtu (13/10) malam.
Klarifikasi GO-JEK
Manajemen GO-JEK berusaha menetralisir "keributan" di dunia maya dengan menyatakan "postingan" dari Brata pendapat dan interpretasi pribadi dari salah satu karyawan GO-JEK, terhadap salah satu event internal dengan tema keberagaman.
"GO-JEK selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya Indonesia, negeri tempat kita lahir, tumbuh dan berkembang. Pada intinya, GO-JEK adalah bagian dari Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika," tulis GO-JEK dalam akun Twitter resminya (13/10). (Baca: Kontroversi GO-JEK)
Alih-alih teredam, suasana di dunia maya kian riuh. Tagar #Uninstallgojek tetap bertengger di lima besar hingga Minggu (14/10) siang setelah sempat memuncaki trending topic di paginya. (Baca: Uninstall GO-JEK)
Bagi sebagian warganet, pernyataan resmi GO-JEK diinterpretasikan aplikasi ridehailing ini "mendukung" propaganda LGBT yang notabene belum diakui secara resmi di Tanah Air.
Sedangkan kelompok yang tidak mendukung #UninstallGojek mengingatkan tentang manfaat GO-JEK bagi perekonomian atau melihat pernyataan dari petinggi aplikasi itu sebagai sikap pribadi.
Lantas salahkah sikap warganet menunjukkan perlawanannya terhadap propaganda LGBT di media sosial? Bukankah banyak brand global juga mengakomodasi LGBT?
Melihat "suasana percakapan" di dunia maya, warganet sepertinya "shock" karena kali ini yang mengakomodir LGBT secara terang-terangan adalah sebuah inovasi dimana selalu mengklaim "buatan anak bangsa".
Warganet melihat, para brand global mengakomodasi LGBT, tetapi tak pernah ada pejabatnya terkesan mengkampanyekan atau membuat kegiatan yang mengakomodir preferensi seksual untuk kantornya di Indonesia.
Bicara hukum formal pun, jika merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi, status hukum LGBT di Indonesia ini masih "haram" dan bertentangan dengan UU Perkawinan Tahun 1974.
Karena itu, tak salah dalam beberapa kali "Propaganda LGBT" di media sosial selalu menimbulkan kontroversi dan memaksa pemerintah turun tangan.
Lihatlah aksi terakhir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika yang memblokir grup facebook LGBT pada Kamis (11/10), setelah dalam beberapa hari belakangan meresahkan warganet.
Kominfo melakukan pemblokiran setelah mendapat surat elektronik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang meminta grup tersebut diblokir karena dinilai dapat membahayakan anak-anak dan remaja di wilayah Garut dan sekitarnya.
KPAI menilai Grup LGBT di Garut tersebut berpotensi mengkampanyekan praktik gay di kalangan anak-anak atau remaja laki-laki. (Baca: Blokir Grup FB)
Merujuk kepada nasib dari grup Facebook LGBT di Garut yang akhirnya diblokir, untunglah Brata menyadari kesalahannya dan menghapus postingannya.
Mungkin yang ditunggu warganet sekarang adalah kata "Maaf" dari manajemen GO-JEK karena salah satu petingginya telah memicu "kericuhan" di dunia maya.
Satu kata yang bisa mengakhiri "keriuhan" dan mungkin malah mendatangkan simpati publik sebagai aplikasi karya anak bangsa.
@IndoTelko