Di bulan Oktober ini pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah memasuki usia empat tahun.
Usia ini tentu juga berlaku sama bagi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Dalam paparan kinerjanya selama empat tahun memimpin Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Rudiantara mengaku telah berhasil mengubah kementerian yang dipimpinnya dari regulator menjadi fasilitator dan akselerator.
Hal itu dilakukan sesuai implementasi fokus utama Kemkominfo, yaitu percepatan pembangunan jaringan, perangkat, dan aplikasi
Berbagai hal diklaim telah dilakukan Pria yang akrab disapa RA itu, seperti proses perizinan yang teleh disederhanakan, akselerasi perkembangan startup, sambil mempertemukan para pemodal dan startup Indonesia, dan sebagainya.
Terkait percepatan pengembangan jaringan (Network), beberapa langkah taktis telah dilakukan, misalnya percepatan adopsi teknologi 4G yang dilakukan pada 2015. sehingga sampai saat ini penyebaran jaringan 4G berkembang sangat pesat, mencapai 73% di seluruh Indonesia, dan sekitar 97% sudah menjangkau wilayah perkotaan. Sedangkan untuk jaringan pita lebar masih digeber pembangunan backbone Palapa Ring
Kominfo juga merelisasikan kebijakan perangkat atau device melalui program Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30% untuk perangkat 4G bagi vendor smartphone asing yang memasuki wilayah Indonesia. Kebijakan TKDN tersebut dikombinasikan, antara tingkat kandungan lokal dari sisi manufaktur, kombinasi perangkat lunak dan perangkat keras (software dan hardware), serta komitmen investasi.
Dari sisi aplikasi, mulai bermunculan berbagai yang dibangun oleh developer lokal, terutama startup-startup yang sedang berkembang di Indonesia. Kominfo memiliki program gerakan 1000 startup, yang turut memicu kelahiran startup-startup lokal yang mampu mengatasi berbagai solusi di Indonesia.
Munculnya empat startup dengan valuasi US$ 1 miliar (Unicorn) seperti GO-JEK, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia juga diklaim RA sebagai salah satu keberhasilannya memimpin Kominfo yang menjadi fasilitator.
Janji
Jika kita merujuk kepada janji-janji ketika RA menduduki posisi Menkominfo pada 2014 lalu ada beberapa hal yang diapungkannya dan dianggap publik bisa menjadi oase bagi industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia.
RA kala itu berani menjanjikan untuk wilayah seperti Jakarta akan memiliki kualitas infrastruktur TIK mendekati Singapura dan untuk Indonesia posisi ICT Index-nya akan berada di nomor dua atau tiga besar di Asia Tenggara.
Tak hanya itu, RA juga berani berjanji akan mengeluarkan sejumlah regulasi yang lama dinanti pelaku usaha yakni akan mengatur pemain Over The Top (OTT), memberikan rujukan untuk efisiensi industri telekomunikasi di sisi jaringan, hingga membuat biaya interkoneksi baru.
Realisasi
Sayangnya, janji tak semanis realisasi. Di kawasan Asia Tenggara berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU) posisi ICT Indonesia di nomor tujuh.
Data ICT Index (IDI) 2017 menyatakan posisi Indonesia dibandingkan dengan negara maju di Asia Tenggara lain masih tertinggal. Singapura berada di peringkat 18, Malaysia (63), Filipina (101), Thailand (78), dan Brunei Darussalam (53). Indonesia hanya menang urutan dari Kamboja (128), Myanmar (135), dan Timor Leste (122).
Jika dilihat sejak era Kabinet Kerja, posisi Indonesia di IDI bergerak stagnan. Malah jika merujuk ke 2015 alias setahun pertama Rudiantara menjadi Menkominfo, posisi Indonesia justru lebih baik karena berada di peringkat 108 dunia.
Entah kenapa, setelah tiga tahun Rudiantara menjadi Menkominfo posisi Indonesia malah melorot ke 111. (Baca: ICT Index Indonesia).
Hal-hal yang dilihat dari IDI diantaranya, pengguna telepon tetap, pengguna selular, konsumsi internasional bandwidth per pelanggan, kepemilikan komputer di satu rumah, dan persentase rumah yang terkoneksi internet.
Ada juga hal lain yang dilihat seperti pengguna internet individual, pengguna fixed broadband dan mobile broadband. Terakhir juga skill individu di ICT.
Sementara dari IMD World Competitiveness Centre (IMD) menyatakan IMD World Digital Competitiveness Rankings 2018 yang menyatakan posisi daya saing digital Indonesia berada di posisi 62 dari 63 negara yang dirisetnya.
Posisi Indonesia melorot dari nomor 59 di 2017. Pada 2014, daya saing digital Indonesia menempati posisi 57. Sedangkan di 2015 dan 2016 di nomor 60 dari 63 negara. (Baca: peringkat daya saing digital)
Jika melihat statistik ini, bisa dikatakan di era Kabinet Kerja yang getol menyuarakan mantra "digital" sebagai salah satu pengungkit pertumbuhan ekonomi justru peringkat daya saing negara ini melorot.
Bagaimana dengan realisasi pembuatan regulasi? Aturan yang dijanjikan Rudiantara soal interkoneksi, Over The Top (OTT), hingga efisiensi jaringan tak jelas hasilnya.
Bahkan, belakangan publik merasa terkejut dengan ngototnya Rudiantara bicara revisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang akan mengubah aturan penempatan data center tak harus di Indonesia. (Baca: Revisi PP PSTE)
Masih adakah waktu bagi Rudiantara untuk merealisasikan janjinya hingga akhir jabatan? Seperti kata pepatah, belum ada kata terlambat asalkan manusia mau berubah, tentu semua bisa terjadi.
@IndoTelko