JAKARTA (IndoTelko) – Musibah tsunami terbesar di wilayah Asia Tenggara pada tanggal 26 Desember 2004 lalu mencatatkan lebih dari 250.000 korban dalam satu hari dan membuat lebih dari 1,7 juta orang di Asia Tenggara kehilangan rumah mereka.
Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB, dalam lima tahun terakhir dari tahun 2014, tercatat 3.306 kejadian musibah banjir dan 73 kejadian musibah gelombang pasang atau abrasi di seluruh Indonesia.
Seluruh kejadian musibah dalam lima tahun ini telah menelan lebih dari 685 korban jiwa, lebih dari 10.321 unit rumah rusak berat, dan lebih 4.394 fasilitas umum mengalami kerusakan.
Belum lama ini, tanggal 24 Desember 2018, Indonesia kembali terserang musibah tsunami di area Selat Sunda yang menelan lebih dari 4 korban jiwa. Warga Kecamatan Sumur, Pandeglang juga sempat dibuat panik akan potensi tsunami susulan akibat air laut yang pasang.
Banyak dari musibah ini yang terjadi di tengah-tengah musim air pasang, November sampai Maret.
Meskipun air pasang ini merupakan fenomena yang dialami tiap tahun di Indonesia dan berbagai negara Asia Tenggara lainnya, cuaca ekstrim yang dihasilkan oleh perubahan iklim menyebabkan musim air pasang untuk menimbulkan dampak yang lebih besar terhadap ekonomi dan kehidupan manusia dalam dekade terakhir.
Jadi, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk merencanakan, mengantisipasi dan memitigasi dampak dari bencana ini, dan yang lebih penting menjaga keamanan masyarakat?
Jawabannya adalah dengan prakiraan cuaca dan iklim yang lebih baik.
NetApp telah mengidentifikasi tiga cara untuk meningkatan akurasi prakiraan cuaca dan iklim dengan memanfaatkan teknologi data:
1. Memanfaatkan Machine Learning untuk Model Cuaca Konvensional
Model-model cuaca dan iklim merupakan inti dari prakiraan cuaca dan iklim. Bahkan, banyak supercomputer telah memainkan peranan penting dalam memungkin model prediktif sejak tahun 1950-an.
Lebih dari prediksi, hal tersebut juga digunakan untuk mereka ulang data historis dan mengembangkan analisis masa depan yang lebih akurat.
Sekarang ini, machine learning sudah mulai menjadi bagian dari keseluruhan proses prakiraan cuaca dan iklim, meningkatkan akurasi dengan lebih baik lagi dan mengurangi ketergantungan terhadap model-model atmosfer tradisional yang memiliki lebih banyak variabel dan ketidakkonsistenanan.
US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) sebagai contohnya, telah memanfaatkan machine learning dan AI, bersama dengan pemahaman fisik akan lingkungan. Hal ini memperluas akurasi prakiraan untuk berbagai tipe cuaca yang berdampak tinggi, termasuk badai dan angin puting beliung.
Di Asia Tenggara, peningkatan model prakiraan juga memungkinkan para peneliti untuk lebih dini memperkirakan awal musim air pasang sampai dengan 15 hari sebelumnya dalam beberapa dekade terakhir.
Bahkan, hal ini juga memberikan pemahaman lebih jauh atas kapan insiden cuaca ekstrim kemungkinan akan terjadi selama musim air pasang.
Seperti misalnya, negara-negara yang dekat dengan khatulistiwa seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura, mengalami hujan dan kemarau dalam siklus sepuluh tahun-an, dimana negara-negara yang lebih jauh di Utara, seperti Filipina dan Thailand, memiliki siklus tiga puluh tahun-an.
Akurasi dan konsistensi yang lebih baik yang dihadirkan oleh machine learning akan memungkinkan berbagai departemen dalam pemerintahan di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerja sama demi persiapan dan pemulihan bencana yang lebih kolaboratif selagi mengoptimalkan investasi dalam infrastruktur dan teknologi penanggulangan bencana.
2. Mengoptimalkan Penggunaan Data Set yang Besar untuk Insight Real-Time yang Lebih Cepat.
Cakupan data terkait cuaca yang tersedia sangatlah besar. Saat ini terdapat ribuan satelit cuaca di luar angkasa yang menyediakan serangkaian data terkait pola awan, angin, temperatur, dan informasi lainnya.
Satelit-satelit ini hanyalah bagian kecil dari elemen yang menghasilkan data cuaca. Masih ada ratusan ribu stasiun cuaca dari pemerintah dan sektor publik di seluruh dunia yang secara terus-menerus mengumpulkan data cuaca secara real-time.
Peningkatan jumlah data cuaca ini mendorong pentingnya infrastruktur yang dapat diandalkan untuk mengirim, mengelola, dan menyimpan data-data cuaca ini, dan memerlukan kekuatan komputasi yang lebih besar lagi untuk dapat melakukan simulasi dengan memanfaatkan data-data ini.
Jika dilakukan dengan baik, data-data ini dapat dioptimalkan untuk menyediakan update secara real-time atau untuk meningkatkan sistem peringatan dini, yang akan membantu menghemat dana besar bagi negara.
Badan Meteorologi India sebagai contohnya, telah meningkatkan prakiraan akan tibanya musim air pasang yang awalnya lima belas hari sebelumnya menjadi tiga bulan sebelumnya di tahun ini.
Hal ini dicapai dengan mengadopsi model prakiraan yang lebih canggih dengan data analitik real-time pada intinya. Dengan prakiraan yang lebih dini, hal ini memberikan cukup waktu bagi para petani di India untuk dapat menebar benih dan merencanakan sumber irigasi alternatif, dan kepada para otoritas sipil untuk secara efektif merencanakan distribusi air untuk penggunaan domestik dan industri dalam musim yang tidak bersahabat.
Mengambil pelajaran dari ini, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan badan terkait lainnya harus mulai mengadopsi teknologi dan solusi yang dapat memungkinkan mereka untuk memproses data-data cuaca dengan lebih cepat, sebelum musim air pasang atau cuaca buruk mulai menghantam.
Lebih lanjut lagi, big data analytic mulai memainkan peranan penting dalam agenda nasional di Indonesia, Malaysia dan Thailand, dan mulai berkontribusi dalam berbagai proyek pemerintah dan industri. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh untuk mengaplikasikan prinsip dan pembelajaran yang sama dalam prakiraan cuaca.
3. Menyelesaikan Tantangan Geografis Penting
Lebih dari sekedar memitigasi dampak langsung dari musim air pasang, teknologi pengelolaan data juga dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan tantangan geografis penting lainnya.
Pencitraan satelit dan radar, pengamatan muka bumi, dengan berbagai pengukuran tekanan, kecepatan angin, temperatur, dan tingkat kelembaban, kesemuanya ini memberikan gambaran gangguan cuaca jangka panjang yang dapat digunakan untuk menginformasikan pengembangan kebijakan dan infrastruktur.
Sebagai contohnya, salah satu dampak utama dari tsunami 2004 adalah erosi daratan pesisir di negara-negara Asia Tenggara. Untuk mencegah kerugian yang lebih besar di masa depan, para ilmuwan dan teknisi dapat memanfaatkan data iklim angin dan ombak untuk menjaga ekosistem dan mencegah pantai-pantai dari erosi. Mereka dapat melakukan ini dengan membangun model statistik yang memperkiraan aktivitas ombak atau dampak hidrodinamis.
Sebagai hasilnya, mereka dapat mengidentifikasi lokasi dimana harus menempatkan pemecah ombak dan tembok laut, untuk mengeruk pasir, lumpur dan bebatuan dan memindahkannya ke lokasi lain. Terlebih lagi, mereka dapat membuat bukit pasir buatan untuk menjaga erosi garis pantai, melindungi pantai-pantai Indonesia yang indah.
Pemerintah dan perusahaan di Asia Tenggara berinvestasi miliaran dolar untuk prakiraan cuaca setiap tahunnya. Saat ini nyaris tidak ada sektor ekonomi yang tidak terkena dampak dari cuaca, baik langsung maupun tidak langsung.
Sumber potensial dari data terkait cuaca akan terus bertumbuh secara dramatis dan kemajuan-kemajuan baru dalam analitik, AI dan machine learning tengah memungkinkan berbagai badan pemerintahan dan perusahaan untuk dapat memanfaatkan data-data terkait cuaca ini dengan lebih baik.
“Di NetApp, kami sangat senang dapat menjadi bagian peningkatan-peningkatan yang berkelanjutan ini. Solusi NetApp All Flash FAS sebagai contohnya, telah memungkinkan banyak organisasi untuk menghantarkan performa yang diperlukan untuk mempercepat visualisasi data untuk banyak badan prakiraan cuaca di seluruh dunia. Kami sangat senang untuk dapat berbagi wawasan dan sudut pandang kami terkait bagaimana teknologi pengelolaan data dapat membantu prakiraan cuaca dan iklim, terutama mengingat Indonesia yang sudah memasuki musim air pasang,” kata Country Manager untuk NetApp Indonesia Ana Sopia.(wn)