JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan tak ada pasal karet di Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kami yakin dan kami percaya bahwa selama penegakan hukum berjalan sesuai koridor maka tidak ada yang namanya pasal karet. Sebaliknya, jika penegakan hukum tidak sesuai dengan koridor pada oknum, pada mafia maka semua pasal di semua UU bisa dikaretin, mau karet satu, dua dan seterusnya," tegas Kepala Sub Direktorat Penyidikan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi dalam Konferensi Nasional Anti Ujaran Kebencian dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Imparsial The Indonesian Human Right Monitor seperti dikutip dari laman Kominfo (20/2).
Dikatakannya, pemerintah tidak akan pernah membiarkan oknum penebar ujaran kebencian bebas dalam jeratan hukum. "Siapapun pelakunya, penegakan hukum tetap berlaku tanpa tebang pilih," katanya. (Baca: UU ITE menakutkan)
Teguh menyatakan selama ini Polri berupaya melakukan penegakan hukum dengan profesional. "Saya termasuk salah satu orang yang salut dengan teman-teman Polri karena penegakan hukum sebanyak itu masih difitnah, masih ada orang-orang yang sengaja menebar ujaran kebencian demi kepentingan kelompoknya. Saya tahu persis karena kalau ada berita apapun, Polri selalu koordinasi dengan Kominfo," kata Teguh.
Teguh mengatakan, stigma sebagian masyarakat Indonesia maupun kelompok dan golongan tertentu menilai bahwa UU ITE berafiliasi pada oknum sehingga membiarkan korban dari masalah ujaran kebencian tersebut. Teguh menegaskan agar stigma seperti itu harus diluruskan.
"Kalau bicara UU ITE, dominasi pemikiran masyarakat kita adalah korban, jadi orang sebut korban UU ITE, ini sebetulnya yang perlu kita luruskan. Banyak yang menyampaikan di ruang publik bahwa UU ITE itu isinya pasal karet, padahal mereka tidak baca keseluruhan dari UU ITE," ujar Teguh.
Teguh menambahkah, adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan konten UU ITE hanya ada lima pasal, sementara yang berkaitan dengan ujaran kebencian hanya ada dua pasal. Pemerintah melalui Kementerian Kominfo selalu menekankan ketentuan hukum harus berjalan sesuai dengan koridornya.
Kominfo telah menemukan sekitar 10.000 konten yang berisi tentang ujaran kebencian. Dari jumlah konten tersebut, terdapat beberapa ujaran kebencian yang juga dilakukan oleh publik figur. Namun, masyarakat selalu menilai kalau pemerintah berpihak pada kelompok tertentu.
"Patroli kami itu menemukan mungkin lebih dari 10.000 konten-konten yang isinya ujaran kebencian. Bicara sisi framing media, kalau ada satu atau dua oknum apalagi tokoh masyarakat atau di oposisi yang dikenakan proses hukum pasti persepsi sebagian masyarakat mengatakan bahwa pemerintah adalah rezim yang anti Islam, padahal semua dugaan itu hanya dimainkan kelompok tertentu," kata Teguh.
Teguh mencontohkan salah satu dari sekian banyak oknum yang melakukan penistaan agama, terutama ditujukan ke agama Islam. Salah satu yang disebutkan Teguh adalah seorang oknum yang membuat konten di media sosial yang menjelekkan agama Islam dan agama lain, oknum tersebut kemudian diproses hukum di Polda Bali.
Data Imparsial The Indonesian Human Right Monitor menunjukkan ujaran kebencian timbul karena adanya bibit intoleransi. Hal itu yang berdampak hingga menjadi bibit radikalisme dan terorisme di Indonesia. Jika bibit semacam itu tidak ditangani dengan baik, maka akan menjadi ancaman bagi Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Teguh mengatakan, pemerintah selalu berupaya menangani konten ujaran kebencian dan melindungi kebebasan berekspresi bagi warga negara sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan pendekatan preventif dan represif.
“Upaya-upaya pemerintah terkait ujaran kebencian kami lakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara preventif dan represif. Pendekatan preventif bisa mulai dari penanganan konten yang berkaitan dengan ujaran kebencian, sedangkan pendekatan represif lebih ke arah penegakan hukum terkait dengan upaya-upaya atau proses hukum,” kata Teguh.
Teguh mengatakan, dua pendekatan yang dilakukan tersebut berjalan secara linear dan berkelanjutan. Sebab, peningkatan jumlah penanganan konten ujaran kebencian eskalasinya lebih banyak terjadi pada saat menjelang Pilkada atau Pilpres. Khusus di media sosial, ujaran kebencian lebih banyak mengarah ke isu-isu agama.
“Saat ini khususnya di media sosial dan internet, ujaran kebencian lebih banyak mengarah ke isu agama dibanding isu suku, karena agama dan simbol agama termasuk hal yang paling sensitif di negara kita. Tapi dalam konteks penegakan dan proses hukum, semua dijalankan sesuai dengan koridor,” tegasnya.
Menurut Teguh konten negatif terkait hoaks tidak berkaitan dengan satu momen tertentu, misalnya menjelang momentum politik, karena momen apapun hoaks selalu ada, tapi kalau ujaran kebencian kenaikannya linear sesuai dengan peningkatan suhu politik atau yang berkaitan dengan agama atau simbol agama. Namun, menjelang Pilpres 2019 ini, konten ujaran kebencian jauh lebih kecil.
“Skala peningkatan konten ujaran kebencian menjelang Pilpres 2019 ini jauh lebih kecil dibanding Pilkada DKI kemarin, penyebabnya karena penegakan hukum berjalan dengan baik, penanganan konten oleh pemerintah juga semakin gencar, dan yang paling utama adalah respon masyarakat terkait ujaran kebencian sudah jauh lebih baik,” papar Teguh.
Asal tahu saja, berdasarkan Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 menjelaskan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), maka proses hukum tetap berlaku kepada oknum siapapun.(wn)