JAKARTA (IndoTelko) - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) beserta sejumlah komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menilai Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak memiliki landasan akademis yang kuat dalam membuat draft revisi PP 82 tahun 2012 (PP PSTE) terutama terkait usulan relaksasi lokalisasi data.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan Mastel dengan Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (ASPILUKI), dan Indonesia ICT Institute menegaskan landasan akademis salah satunya dari hasil riset Center for Digital Society (CfDS) dengan judul white paper Transformasi Digital Indonesia di Era Komputasi Awan: Rekomendasi Aturan Klasikasi Data Sektoral dalam Menyongsong Revisi PP 82/2012 tak layak menjadi bahan untuk menjustifikasi relaksasi lokalisasi data center.
Asal tahu saja, Kominfo telah menggelar acara Seminar Diseminasi Hasil Riset Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan, di The Sultan Hotel Jakarta, Selasa (19/2) dengan CfDS yang merupakan lembaga riset dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. (Baca: Sosialisasi Kajian Revisi PP PSTE)
White paper tersebut menimbulkan persepsi adanya konflik kepentingan dan diragukan objektifitas kajiannya, karena Dr. Dedy Permadi yang saat ini menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Kebijakan Digital, juga merupakan Managing Director CfDS dan editor tunggal dari white paper tersebut, yang berarti terlibat langsung dalam penyusunannya.
Sebagian isi di dari white paper ini tertuang di dalam draft revisi PP 82/2012, sehingga menimbulkan opini dokumen tersebut diposisikan seolah sebagai naskah akademik revisi PP 82/2012 yang dipersiapkan oleh Kemkominfo.
Isi white paper juga menimbulkan opini CfDS mengabaikan berbagai hal mendasar dan penting dari sisi ekonomi nasional, keamanan dan kedaulatan negara, dan terkesan menjadi dokumen pembenaran bagi rencana kebijakan yang akan diambil dengan menihilkan peran pelaku industri layanan komputasi awan, dan industri data center di Indonesia.
Selain itu, data yang dijadikan acuan dalam white paper tersebut sebagian besar adalah data dari pihak asing yang sangat mungkin memiliki kepentingan bisnis untuk memperbesar pasar bagi para pelaku industri layanan komputasi awan global di Indonesia.
Beberapa data yang digunakan juga merupakan data lama (data 12 tahun yang lalu), yang sangat mungkin sudah tidak relevan dan perlu diuji lagi validitasnya.
Sebagai contoh dalam white paper tersebut menyampaikan bahwa aturan data localization akan mengurangi PDB 0.5% dan juga akan mengurangi investasi sebesar 2.3%, yang hanya mengambil kalimat dari riset yang dilakukan oleh ICIPE yang risetnya sendiri dipublikasikan pada tahun 2014, dan data model yang dipakai dalam riset tersebut adalah data tahun 2004 – 2007 serta hanya berdasarkan aliran perdagangan barang tanpa memperhitungkan aspek lainnya.
Tak Obyektif
Sekjen IDPRO Teddy Sukardi mempertanyakan objektivitas white paper dari CfDS karena uraian dan bahasannya kurang berimbang karena belum secara lengkap mempertimbangkan kepentingan kepentingan jangka panjang terkait kedaulatan data dan kemandirian penyediaan jasa teknologi informasi.
"Sejauh kami tahu pelaku usaha data center dan cloud belum dimintai pandangannya dan belum menjadi sumber informasi bagi penelitian. Itu sebabnya obyektifitasnya patut kami pertanyakan," tegasnya dalam keterangan (27/2).
Executive Director, Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berharap Akademisi dalam mengeluarkan hasil riset harus obyektif dan mengedepankan kepentingan nasional. (Baca: Mastel Tolak Revisi PP PSTE)
“Kami menghimbau akademisi dalam mengeluarkan hasil riset haruslah obyektif dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan serta dengan menggunakan metodologi yang benar, jangan membuat hasil riset berdasarkan pesanan, apalagi pesanan bagi kepentingan asing, ini bahaya sekali," ujarnya.
Sekjen FTII Irwin Day menyampaikan keprihatinannya terhadap hasil kajian tersebut. (Baca: Kontroversi Revisi PP PSTE)
“Kajian akademis harusnya memberikan pandangan yang jernih dan tidak berpihak terhadap sebuah persoalan terlepas siapapun sponsornya. Jika yang dikaji adalah industri data center dan cloud computing maka sebaiknya yang menjadi sumber kajian adalah para pelaku industri tersebut di dalam negeri. Jika sumbernya hanya merujuk satu arah maka keabsahan kajian tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi kajian tersebut menjadi dasar sebuah kebijakan nasional yang berpengaruh besar pada kepentingan nasional,” tegasnya.
Sekjen APJII Henri Kasyfi berharap Kemkominfo dalam memilih konsultan sebagai pendukung kebijakannya bisa lebih transparan dan obyektif,
"Kominfo sebaiknya lebih transparan terhadap alasan pemilihan konsultan yg kemudian mengeluarkan white paper guna perubahan suatu peraturan pemerintah. Selain transparansi, juga dibutuhkan multi white paper dari multi konsultan untuk dijadikan dasar perubahan suatu peraturan agar terpenuhi unsur objektivitas. Akan lebih baik lagi apabila pemilihan konsultan semacam ini juga melibatkan multi stakeholder dari asosiasi-asosiasi industri terkait," katanya.
Ketua Umum ACCI Henri Kasyfi menyampaikan harapannya agar para akademisi tidak menjadi alat bagi kepentingan asing.
“Jelas bahwa kepentingan asing itu adalah untuk membuka akses seluas-luasnya bagi produk atau layanannya di Indonesia dengan biaya seminimal mungkin, apabila data dan proses bisa dilakukan di luar Indonesia, ini adalah akses pasar yang sangat luas bagi mereka untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia, tanpa perlu mereka berinvestasi ataupun berkontribusi buat ekonomi Indonesia, ini harus dipahami oleh para akademisi supaya tidak menjadi alat bagi tujuan mereka," tegasnya.
Ketua Umum ASPILUKI Djarot Subiantoro menyampaikan bahwa industri digital di Indonesia bisa dan telah memanfaatkan layanan komputasi awan atau data center di Indonesia.
“Untuk industri perangkat lunak dan digital di Indonesia, sangat bisa memanfaatkan layanan komputasi awan ataupun data center yang ada di Indonesia, terdapat penyedia-penyedia layanan komputasi awan yang bersertifikasi di Indonesia dengan jangkauan harga yang kompetitif, bahkan terdapat global provider yang mempunyai pusat data di Indonesia, ini tentu bisa dimanfaatkan, jadi kalau CfDS menihilkan hal ini, bisa jadi memang tidak atau belum memasukkannya dalam kajian," ujarnya.
Direktur Eksekutif MASTEL, Arki Rifazka mengajak CfDS untuk melakukan kajian bersama yang lebih menyeluruh melihat kepentingan nasional Indonesia menyongsong era industri 4.0.
"Masih amat banyak aspek strategis yang belum dibahas di dalam kajian CfDS yang bersama Kemkominfo sehingga MASTEL menilai white paper itu belum layak digunakan sebagai rekomendasi revisi PP 82 yang sangat strategis bagi NKRI," katanya.(id)