JAKARTA (IndoTelko) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menggelar debat Calon Presiden (Capres) 2019 pada Sabtu (30/3).
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali saling beradu argumen seputar tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.
Hal yang menarik adalah munculnya pembahasan seputar e-Government (e-Gov) ketika tema tentang pengelolaan pemerintahan dibahas.
Moderator kala itu melemparkan pertanyaan terkait tantangan revolusi industri 4.0 dimana pemerintah perlu memanfaatkan teknologi informasi (TI) untuk dapat membangun tata kelola pemerintahan berbasis teknologi informasi atau e-Gov.
"Bagaimana visi dan strategi bapak-bapak dalam memanfaatkan keberadaan smart city dan e-Gov agar pelayanan publik semakin responsif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan mampu meningkatkan keunggulan kompetitif bangsa indonesia?" tanya moderator seperti disiarkan sejumlah stasiun TV nasional.
Dilan
Jokowi memberikan jawaban yang sangat "Kekinian" dengan memunculkan istilah "Pemerintahan Dilan" atau digital melayani.
Menurutnya, pelayanan bukan hanya melayani tapi kecepatan juga dibutuhkan sehingga diperlukan reformasi dalam bidang pelayanan melalui e-government, e-procurement, dan e-budgeting sangat diperlukan dalam menyiapkan era digital ke depan. Kedua, penyederhanaan dan penajaman kelembagaan.
Jokowi mengungkapkan dalam 4,5 tahun terakhir telah membubarkan dua puluh tiga lembaga, meningkatkan kualitas aparatur sipil negara (ASN), dan lainnya.
"Saya rasa pemerintahan ke depan adalah seperti itu, intinya bahwa penggunaan pelayanan yang berbasis elektronik inilah kecepatan karena ke depan negara yang besar, tidak menguasai negara kecil atau negara yang kuat menguasai negara yang lemah tetapi negara yang gerak cepat akan menguasai negara yang lambat oleh sebab itu kita harus menyiapkan negara kita harus cepat. Cepat memutuskan, cepat merespon setiap perubahan- perubahan yang ada, dan itu hanya bisa dilakukan kalau kita menyiapkan pemerintah dimana semua e-Gov terkoneksi dari pusat ke provinsi," katanya.
Filosofi
Sementara Prabowo Subianto menjawab isu e-Gov dengan mengedepankan filosofi dimana memang teknologi informatika vital bagi pemerintahan dan nantinya akan mengutamakan penggunaan teknologi informatika untuk mencapai transparansi.
"Jadi segala macam sistem yang baik tapi kalau tujuannya tidak jelas, yang ingin kita capai adalah suatu pemerintahan yang efektif dan bersih dari korupsi," tegasnya.
Prabowo mengingatkan teknologi informatika adalah senjata yang sangat efektif untuk mencapai pemerintahan bersih sebagai contoh untuk meningkatkan kembali rasio pajak. Selanjutnya mengembangkan single identity card untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang besar.
"Kita pegang teknologi kalau tidak untuk kesejahteraan rakyat untuk apa mahal-mahal dan boros bahkan tidak bermanfaat. Teknologi sistim, kalau tujuan pemerintah itu tidak jelas maka terjadilah kerugian-kerugian besar bagi suatu negara," katanya.
Ditegaskan Prabowo, masalah bangsa ini adalah kekayaan tidak tinggal di Indonesia.
"Dengan sistem yang hebat bagaimanapun kalau tidak ada political will dari pemerintah untuk mengubah arah orientasi sistem ekonomi saya kira indah-indah saja kita boleh punya informatika, boleh punya sistem yang hebat boleh punya kartu banyak sekali, indah seolah-olah modern, seolah-olah efisien, seolah-olah cepat, untuk apa cepat kalau tetap cepatnya adalah kekayaan kita mengalir ke luar negeri. Saya lebih baik pakai teknologi lama tapi kekayaan indonesia tidak keluar dari Indonesia," pungkasnya.
Leadership
Ketua Dewan Pembina Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) Mochamad James Falahuddin menyatakan kontribusi TI dalam transformasi digital paling maksimal 30%, sisanya lebih banyak bicara Leadership, political will, change management, sumber daya manusia, dan lainnya.
"Kita ini bicara e-Gov tak hanya sejak ada Pak Jokowi, jauh sebelum beliau dikenal luas, isu e-Gov itu sudah ada di bawa sejumlah presiden setelah reformasi. Pertanyaannya, kenapa e-Gov banyak tak jalan maksimal, padahal tender pengadaan TI untuk e-Gov itu triliunan rupiah nilainya kalau di semua kementrian dan lembaga digabung. Masalahnya ya di leadership yang lemah," tegasnya.
Menurutnya, selama ini proyek e-Gov terlalu banyak memberikan fokus kepada penyerapan anggaran, bukan pada master plan.
"Masalah lainnya terlalu bernafsu tetapi gak ukur kekuatan. Kadang itu sebuah proyek e-Gov memulai terlalu besar atau terlalu kecil. Lihat itu Sistem Online Single Submission (OSS) seperti kejar tayang, padahal tak semudah seremoninya," katanya.
Ditambahkannya, banyak juga sistim teknologi informasi yang dibangun di lingkungan instansi pemerintah, mayoritas masih pada sistim transaksional. Aplikasi KTP online, perizinan online, pajak online, dan lainnya, menjadi contoh dari sistim berbasis transaksional tersebut.
Di mana ada input data dari front end yang disimpan di dalam database, yang kemudian data-data tersebut diolah untuk berbagai kepentingan, baik untuk menghasilkan laporan, indikator kinerja, indikator pendapatan daerah dan lain sebagainya.
"Itu semua karena dari pemimpin kurang memiliki pemahaman terhadap ekosistem TI secara utuh. Dalam dunia TI, dikenal sebuah pameo 'the problem sit between the chair and keyboard'. Artinya, manusia yang menjadi masalah terbesar dalam implementasi TI," tegasnya.
Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi menilai "jualan" digital sepertinya menjadi andalan dari para Capres untuk menarik kalangan pemilih Milenial yang diperkirakan berjumlah 190 juta jiwa.
"Akronim Dilan itu kan sangat milenial. Kalau bicara digital atau e-Gov bukan hal barulah. Tapi harus diingat, digital itu hanya tool, faktor lainnya itu kan orang, budaya, dan proses bisnisnya," tutupnya.(id)