JAKARTA (IndoTelko) - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengungkapkan pengguna internet makin cerdas dalam melawan berita bohong atau hoaks yang disebarkan melalui dunia maya.
Demikian salah satu hasil survei Mastel bertemakan "Berita Hoaks di 2019" yang dikeluarkan 10 April 2019.
Direktur Eksekutif Mastel, Arki Rifazka menjelaskan survei tersebut lanjutan dari kegiatan sejenis dua tahun lalu untuk melihat perkembangan persepsi responden terhadap berita hoaks, penyebaran berita hoaks, klasifikasi berita hoaks serta dampaknya terhadap kehidupan berbangsa secara nasional.
Proses survei dilakukan secara online dalam kurun waktu 28 Februari hingga 15 Maret 2019 dan direspon oleh 941 responden dengan rentang usia 20-24 tahun (27,8%), 25-40 tahun (35,8%), 41-55 tahun (25%), di atas 55 tahun (4,90%), 16-19 tahun (6,1%) dan di bawah 15 tahun (0,30%).
Dari beberapa pertanyaan yang diajukan pada survei tersebut berhasil didapatkan respon seputar definisi hoax, perilaku masyarakat menyikapi hoaks, bentuk dan saluran hoaks, dampak hoaks dan penanggulangan hoaks.
Sebanyak 88% responden menjawab bahwa hoaks adalah berita bohong yang disengaja, 49% berpendapat hoaks adalah berita yang menghasut, 61% berpendapat hoaks adalah berita yang tidak akurat, 31% berpendapat hoaks sebagai berita yang menjelekkan orang lain. Hasil ini dapat dimaknai bahwa masyarakat memiliki kepekaan tinggi terhadap berita-berita yang menjelekkan orang lain.
Di survei tahun 2019, Responden yang berpendapat memeriksa kebenaran berita heboh, menurun dari 83.2% menjadi 69.3%. Namun ini bukan merupakan indikasi negatif, karena 7,5% responden menyatakan meng-counter berita, 2,1% menegur pengirim berita, dan 3,2% Langsung menghapus, yang bila ditotal berjumlah 12,8%. Sehingga bila dijumlahkan dengan yang memeriksa kebenaran (69,3%), menjadi 82.1%. 16,9% responden lainnya berpendapat mendiamkan berita heboh ketika menerimanya.
Andalan utama responden untuk memeriksa kebenaran berita heboh bertumpu pada search engine (82,8%).
Secara keseluruhan, alasan responden meneruskan berita heboh tidak ada perubahan yang berarti dibandingkan dengan hasil survey 2017. Namun ketika di tahun 2019 diberi pilihan jawaban “iseng meneruskan agar heboh”, ternyata ada 4,6% responden memilihnya.
93,2% responden berpendapat bahwa berita seputar Sosial Politik adalah isi berita hoaks yang sering mereka terima. Hoaks isu SARA menurun dari 88,6% menjadi 76,2% (turun 12,4%). Hoax Pemerintahan 61,7%, hoaks bencana alam meningkat dari 10,3% menjadi 29,3%, dan hoax berisi info pekerjaan yaitu 24,4%.
Pada tahun 2017, dominasi bentuk hoaks baru sebatas tulisan dan gambar. Namun pada survei kali ini digali perkembangan ragam dari bentuk hoaks yang sering diterima. Respon jawaban responden yang terbanyak yaitu Tulisan (70,7%), foto dengan caption palsu (66,3%) dan Berita/foto/video lama diposting ulang (69,2%).
Responden yang merasa menerima hoaks Lebih dari satu kali per hari, menurun dari 17,2% menjadi 14,7% (turun 2,5%). Yang merasa menerima hoaks setiap hari, menurun dari 44,3% menjadi 34,6% (turun 9,7%). Terjadi peningkatan yang seminggu sekali, dari 29,8% menjadi 32,5% (naik 2,7%). Tampak ada penurunan frekuensi penyebaran berita hoaks, namun bentuk hoaks semakin bervariasi dan samar.
Terkait dampak hoaks, responden yang berpendapat hoax sangat mengganggu meningkat dari 43,5% menjadi 61,5%. Yang berpendapat hoax sangat mengganggu kerukunan masyarakat meningkat dari 75,9% menjadi 81,9%. Yang berpendapat hoaks sangat menghambat pembangunan, meningkat dari 70,2% menjadi 76,4%.
54,3% Responden berpendapat alasan maraknya penyebaran hoax karena hoax digunakan sebagai alat untuk menggiring opini publik termasuk kampanye hitam. 5,8% responden berpendapat bahwa ada yang memanfaatkan hoax untuk bisnis. Maka dapat dimaknai bahwa 60,1% penyebaran hoaks dimaksudkan untuk penggiringan opini publik.
Kedewasaan masyarakat mengenali hoaks meningkat cukup besar, tampak dari menurunnya tuntutan edukasi tentang hoaks (57.7% menjadi 33.7%). Tingkat kedewasaan ini tampak dari peningkatan opini untuk mengoreksi hoax melalui sosial media 10,2%, report akun/posting (16,3%), dan pemberitaan di media TV/Radio/Majalah/Koran (4,1%).
"Kesadaran bahwa penanggulangan penyebaran hoaks dimulai dari diri sendiri, tetap tinggi. Namun demikian, secara implisit responden tetap menginginkan penegakan hukum yang lebih tegas kepada pelaku penyebaran hoax dan turut melibatkan pemilik/pengelola platform/aplikasi sosial media," tutup Arki.(id)