JAKARTA (IndoTelko) - Langkah Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan penapisan terhadap situs crowd-source penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, www.jurdil2019.org, per 20 April 2019 dikecam banyak pihak karena dianggap anti demokrasi.
"Ya emang kominfo ngawur (menapis jurdil2019.org)," tegas Peneliti di Internet Development Institute (ID Institute) Muhammad Salahuddien Manggalanny kepada IndoTelko, Senin (22/4).
Menurutnya, alasan adanya permintaan dari sektor terkait harusnya dikritisi oleh Kominfo sebelum melakukan penapisan terhadap sebuah situs.
"Kalo yang request Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan lembaga yang memang menjadi otoritas sektor, pasti mereka punya aturan internal. Tetapi kalau seperti Badan Pengawas Pemilu mereka bukan otoritas dan karenanya gak punya aturan yang bisa jadi parameter untuk menentukan suatu konten melanggar atau tidak melanggar. Alias subyektif saja," tegasnya.
Dalam pandangan Pria yang akrab disapa Didhien itu, Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kominfo keliru menjalankan permintaan penapisan terhadap situs crowd source itu. (Baca: Panas pasca pencoblosan)
"Tidak semua instansi punya wewenang (otoritas). Apa Bawaslu boleh mengatur konten pemilu, Quick Count misalnya? Tentu tidak. Yang mengatur itu Komisi Pemilihan Umum (KPU)," jelasnya.
Dijelaskannya, hal yang dipersoalkan Bawaslu, situs jurdil2019.org menyelenggarakan Quick Count, tanpa klarifikasi.
"Padahal situs itu nggak bikin Quick Count, dia sama seperti Onno dkk (KawalPilpres2019), Kawalpemilu dan lainnya. Hanya publikasi C1. Katakanlah benar dia melakukan Quick Count tanpa ijin, yang berwenang kasih sanksi KPU bukan Bawaslu. Kan offside ini," katanya.
Disesalkannya, akibat dari Kominfo memfasilitasi permintaan Bawaslu yang "offside", situs crowd source hitung suara pemilu seperti KawalPilpres2019 memilih menurunkan hasil tabulasinya secara real time.
"Karena ada yang offside dan arogansi malah difasilitasi kominfo, kan jadi semua takut lah. Yang punya akreditasi saja dicabut sewenang-wenang apalagi yang enggak. Walaupun sebenernya gak perlu punya ijin dan akreditasi untuk menayangkan. Seharusnya kawalpemilu.org yang sama persis dengan jurdil2019.org punya akreditasi pemantau dari Bawaslu juga, dicabut juga dong dan diblokir sekalian," tutupnya.
Sementara anggota Jurdil 2019 Rulianti melalui akun YouTube Bravos Radio Indonesia mengatakan akan mendatangi kantor Bawaslu untuk mengonfirmasi perihal pemblokiran situsnya.
Rulianti mengaku terkejut adanya pemblokiran dan mengaku tak pernah memperoleh pemberitahuan sama sekali baik dari Bawaslu maupun Kominfo. (Baca: Dampak blokir situs hitung Pilpres)
Dijelaskannya, situs Jurdil 2019 mempublikasikan hasil hitung cepat Pilpres 2019 dengan hanya menampilkan data hasil pemindaian formulir C1 yang dibagikan oleh para relawan.(Baca: Blokir Crowd-source Pilpres)
"Kami disebut melanggar aturan dengan publikasi quick count, padahal kami sama sekali tidak melakukan quick count. Kami hanya menerima informasi C1 dari relawan, TPS-TPS, kemudian kita informasikan ke publik," terangnya.(dn)