JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) didesak untuk membuka blokir atas situs jurdil2019.org demi menegakkan aturan dan menjaga suasana demkorasi yang kondusif.
"Buka sajalah (pemblokiran). Memang nggak proper (pemblokiran) kok, secara aturan," ungkap Peneliti di Internet Development Institute (ID Institute) Muhammad Salahuddien Manggalanny kepada IndoTelko, Kamis (25/4).
Diungkapkannya, jika merujuk kepada Peraturan Menteri (PM) 19/2014 tentang situs bermuatan negatif, aturannya jelas di Pasal 14 menyebutkan Tata cara tindak lanjut laporan dari Kementerian/Lembaga meliputi:
a. Direktur Jenderal memberikan peringatan melalui e-mail kepada penyedia situs
untuk menyampaikan adanya muatan negatif.
b. Dalam hal penyedia situs tidak mengindahkan peringatan sebagaimana angka 1 dalam waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam, maka dilakukan tindak lanjut pengelolaan laporan.
"Kalau dibaca di media kan jelas Poin a dari aturan itu tak dijalankan Dirjen Aptika. Jadi, ini mutlak kesalahan Dirjen," tegasnya.
Sementara di BAB III dari PM 19/2014 pada pasal 4 menyatakan:
(1) Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hurufa, yaitu:
a. pornografi; dan
b. kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Siapakah "yang berwenang" di sini? Kita cek kewenangan Bawaslu, apakah termasuk memblokir situs atau aplikasi?" tanyanya.
Merujuk pada informasi yang tersedia di situs bawaslu.go.id, ternyata tidak ada satu pun wewenang lembaga tersebut terkait dengan pemblokiran situs.
Ini berbeda dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pengendali Obat dan Makanan (BPOM) yang dimandatkan oleh Undang-undang (UU) menutup, menindak yang ditafsirkan juga termasuk memblokir konten melanggar di internet.
"Ini sama persis dengan kasus pemblokiran situs islam oleh permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke Kominfo beberapa tahun lalu. Ternyata, BNPT tidak berwenang. Yang berwenang menilai konten radikal di media justru adalah Kejaksaan Agung. Ini UU yang omong," tukasnya.
Pria yang akrab disapa Didhien ini sangat memprihatinkan pejabat Kominfo sendiri tidak memahami dan tidak mampu menafsirkan Peraturan Menterinya sendiri.
"Jadi tidak bisa Dirjen Aptika menafsirkan sepihak bahwa Bawaslu adalah pihak yang berwenang, karena PM 19 2014 sendiri telah mengatur bahwa siapa lembaga/instansi yang berwenang tersebut adalah menurut peraturan perundangan. Bukan berdasarkan penafsiran sepihak Dirjen Aptika. Justru, kominfo harus berani menegur Bawaslu karena telah meminta sesuatu yang di luar kewenangannya dan pada dasarnya justru melanggar konstitusi," tandasnya.
Disarankannya, tanpa harus diminta oleh pihak jurdil2019.org yang sudah dirugikan, Kominfo harus memulihkan dan meminta maaf terbuka sebagai rehabilitasi untuk pengelola situs itu, sesuai amanat dari PM 19/2014/.
"Jadi tuduhan Kominfo situs jurdil2019.org menimbulkan kegaduhan itu juga sangat tendensius dan sewenang-wenang karena situs itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Justru penilaian Bawaslu yang sangat buruk serta Kominfo yang serampangan main blokir itulah yang menyebabkan kegaduhan!" tutupnya.
Transparan
Sementara Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan selalu mengedepankan transparansi di ruang publik sebagai asas keterbukaan informasi dalam melakukan pemblokiran.
"Kami sebagai pengampu di ruang siber, begitu menerima permintaan dari instansi yang punya wewenang, biasanya kita melakukan proses, habis itu kita lakukan pemblokiran," kata Semuel.
Dijelaskannya, proses pemblokiran terhadap platform atau website yang diduga melakukan pelanggaran, merupakan permintaan dari lembaga tertentu.
Selain itu, Kominfo terus melakukan upaya-upaya koordinasi. Hal itu untuk menjamin proses transparansi kepada masyarakat, khususnya di media sosial.
"Setiap proses itu juga transparan, semua orang juga tau karena kami memposting juga di website, kalau mereka (lembaga tertentu) meminta sesuatu diblokir pasti semuanya sudah tau, karena kami ingin ingin memegang asas transparansi," tambahnya.
Semuel kembali menegaskan bahwa, setiap pemblokiran yang dilakukan oleh Kominfo, semuanya sudah melalui proses identifikasi yang berunsur pada peraturan yang dilanggar.
"Jadi setiap website diblokir itu, pasti sudah ada unsur yang dilanggar. Kita gak berani juga melakukan pemblokiran tanpa ada unsur yang dilanggar," tegas Semuel.
Sebelumnya Kementerian Kominfo memblokir situs Jurdil2019.org atas permintaan dari Bawaslu. Situs tersebut diduga melakukan pelanggaran, karena hasil Quick Qount berpihak pada salah satu pasangan Capres-Cawapres.
Pengelola jurdil2019.org dalam keterangan pers yang diunggah di akun Facebook-nya (24/3) menyatakan tidak ada muncul simbol-simbol milik salah satu pasangan calon (Paslon) yang ikut dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) di aplikasinya.
"Ini kita sudah perlihatkan ke Bawaslu kala ingin mendapatkan akreditasi sebagai pemantau Pemilu 2019," tulis pengelola jurdil2019.org.
Pengelola jurdil2019.org pun menegaskan tak ada komunikasi sama sekali dari Bawaslu atau Kominfo sebelum situsnya diblokir. Semakin membingungkan bagi pengelola situs karena konten yang dimilikinya dianggap negatif. (Baca: Blokir Jurdil2019.org)
Terkait dengan munculnya angka-angka perhitungan dan infografis hasil penghitungan sementara, jurdil2019.org berpegang pada UU no 7 tahun 2017 serta PKPU No 3 Tahun 2019 bahwa kegiatan pemantauan adalah mengumpulkan, mengamati, dan mendokumentasikan kegiatan pelaksanaan pemilu yang disebut salah satunya adalah menokumentasikan C1 agar tidak terjadi corrupt (ditambah/dikurangi). Hasil dokumentasi C1 itu yang disimpan dan dipublikasikan agar publik bisa mengetahui amanah yang diberikan.
"Bentuk tampilan ini oleh Bawaslu ditafsirkan sebagai Quick Count. Kami tahu kalau Quick Count minta ijin ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kami kan posisinya pemantau," tulisnya.
Jurdil2019 pun mempertanyakan inkosistensi Bawaslu adanya pihak-pihak yang menyajikan sama dengan situsnya tetapi tidak diblokir. (Baca: Kontroversi jurdil2019)
Pengelola Jurdil2019.org pun mengungkapkan kala berudiensi dengan salah seorang komisioner Bawaslu untuk meminta pembukaan blokir situsnya tidak perlu datang langsung ke instansi yang dipimpin Menkominfo Rudiantara itu. "Pihak Bawaslu memastikan kami tidak perlu ke Kominfo, mereka yang akan bicara kesana. Tetapi pada Selasa (22/4) beredar kabar kami yang harus ke Kominfo dan dinyatakan situs ini membuat kegaduhan serta diberikan sanksi administratif," sesalnya.
Pengelola jurdil2019 pun mencoba mengonfirmasi ke salah satu Komisioner Bawaslu kabar dari Kominfo tersebut. Jawaban yang diberikan Bawaslu adalah jurdil2019 bukan lagi bagian dari pemantau sehingga diminta ke Kominfo untuk membuka blokir.
"Aneh sekali prosedural Bawaslu, disaat ada merasa pelanggaran secara sepihak langsung meminta pemblokiran dan Kominfo menyatakan pemblokiran atas permintaan Bawaslu. Namun, saat kemerdekaan berpendapat jurdil2019.org akan diperoleh kembali justru Bawaslu lepas tangan dengan alasan bukan lagi bagian pemantau, lalu disuruh minta langsung ke Kominfo (pembukaan blokir)," sesal Tim Pengelola jurdil2019.(dn)