JAKARTA (IndoTelko) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan saat ini Facebook (FB) menjadi platform yang paling rendah dalam hal pemenuhan permintaan Pemerintah untuk melakuan blokir konten hoaks dalam platform media sosial.
“Mengenai Facebook, FB bisa bicara ke ibu 'saya akan ikuti pemerintah'. Kami akan sampaikan ke ibu datanya berapa yang kami minta di take down, berapa yang mereka lakukan take down. Facebook adalah yang paling parah. Iya betul. Saya dengan senang hati (bagikan data)," papar Rudiantara dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Kementerian Kominfo, awal pekan lalu.
Pernyataan Menteri Rudiantara itu disampaikan menanggapi pernyataan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty bahwa pengelola Facebook akan menuruti permintaan pemblokiran konten negatif berupa hoaks. "Dalam pertemuan dengan pengelola Facebook. Di situ dia katakan kok, bahwa dia itu follow the government. Suruh tutup dia tutup,” ucap Evita.
Rudiantara menyatakan Kementerian Kominfo harus adu argumen terlebih dahulu dengan Facebook untuk meminta pemblokiran. “Kenyataannya tidak begitu! Belum tentu yang kita minta take down di-take down dengan berbagai macam alasan. Apa yang dikatakan Facebook kepada teman-teman di Komisi I berbeda dengan kenyataannya,” ujar Rudiantara.
Kominfo siap menunjukan data jumlah permintaan blokir dari Pemerintah kepada platform media sosial di Indonesia. "Dipenuhi oleh twitter berapa persen? Yang dipenuhi Instagram berapa persen? Dipenuhi oleh Facebook berapa persen? Yang dipenuhi oleh Google berapa persen? Kita punya record-nya semua,” tuturnya.
Rudiantara menyatakan kementerian yang dipimpinnya sudah dan akan selalu tegas untuk melakukan pemblokiran konten negatif.
"Dia (FB) bicara dengan Ibu kalau Pemerintah minta turunkan, saya berikan datanya, Bu. Kami pun mohon maaf, harus istilahnya 'sedikit berantem' dengan mereka. Tapi kalau minta (pemblokiran) kami minta turun terus. Surat kami layangkan terus," ucapnya.
Sebelumnya, peneliti dari Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan fenomena Facebook dianggap sebagai "ancaman" bagi pemerintahan sebuah negara tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga sejumlah negara maju.
Bahkan, Co-founder Facebook Chris Hughes sudah membuat tulisan dengan judul “time to break up Facebook” di Washington Post yang intinya “Kerajaan Facebook” harus dipecah, saat ini sudah terlalu besar, tidak bisa dikontrol, anti-demokrasi dan anti-Amerika (Un-America).
"Melawan “Kerajaan Facebook” bagi pemerintah Indonesia bukanlah soal mudah. Sri Mulyani (Menkeu) coba membuat jurus menagih pajak FB beberapa waktu lalu. Di Inggris saja mereka gagal menagih pajak ke FB atas iklan perusahaan-perusahaan Inggris, karena FB merasa dia tidak melibatkan Inggris dalam wilayah iklan itu, melainkan Irlandia. Di Amerika, malah FB tidak peduli dengan Trump yang marah karena Alex Jones, tokoh Republican, di ban (block) FB. Apalagi Indonesia?" tanyanya.
Menurutnya, dalam dunia baru di mana media sosial menjadikan setiap orang menjadi manusia bebas yang anti pengekangan, tidak terlalu tergantung pada aktor. Meski semua aktor oposisi ditangkap, misalnya, belum tentu rakyatnya bisa berhenti berekspresi bebas.
Diingatkannya, kebebasan sipil telah menjadi tiang utama berpolitik. Saat bersamaan “Kerajaan Facebook” dan media sosial lainnya datang memberikan spirit kebebasan dan anti negara. Semua dunia saat ini memikirkan adanya demokrasi yang bermartabat, yakni demokrasi tanpa kebencian dan permusuhan. Dan dunia nyata memohon kepada Kerajaan Facebook untuk membantu.
"Jika demokrasi harus diselamatkan, maka dalam dunia sekarang ini adalah merubah “mindset” bisa menggunakan struktur mengendalikan kultur dan perilaku masyarakat. Cara berpikir baru adalah duduk bermusyawarah menentukan ulang kesepakatan-kesepakatan, bukan mendikte secara sepihak," tegasnya.(id)