HONG KONG (IndoTelko) - LexisNexis Risk Solutions menerbitkan survei Asia Pasifik terbarunya, bertajuk The True Cost of Anti-Money Laundering (AML) Compliance: Asia Pacific Edition.
Laporan survei ini menemukan peningkatan biaya pemenuhan regulasi antipencucian uang sebesar 9%-10% selama dua tahun terakhir; kenaikan biaya ini kelak berlanjut dengan kisaran serupa dalam setahun mendatang.
Laporan ini mengungkap berbagai pandangan dari para pengambil keputusan dengan jabatan di bidang kejahatan keuangan yang mengurusi remediasi Know Your Customer (KYC), pemantauan sanksi dan/atau transaksi antipencucian uang di berbagai bank, firma investasi, perusahaan pengelola aset, dan instansi jasa keuangan di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Adapun sejumlah temuan dalam survei itu diantaranya:
Biaya antipencucian uang:
Sejumlah perusahaan keuangan berskala menengah hingga besar di Indonesia, Filipina, dan Singapura (dengan aset total senilai lebih dari US$10 miliar) memiliki pengeluaran tahunan rata-rata untuk kegiatan pemenuhan regulasi yang jauh lebih besar ketimbang perusahaan yang lebih kecil, berkisar dari US$11,95 juta-US$13,93 juta untuk perusahaan yang lebih besar, serta US$1,18 juta-US$2,08 juta untuk perusahaan yang lebih kecil.
Biaya tenaga kerja yang mahal:
Tenaga kerja mengambil porsi yang cukup besar dalam biaya pemenuhan regulasi antipencucian uang, sehingga perusahaan yang lebih besar menanggung biaya lebih mahal. Hasilnya, sejumlah perusahaan ini mengambil beberapa langkah terkait tenaga kerja, guna mengatasi dampak negatif dari status penyedia jasa keuangan nonbank dan risiko sistemik, termasuk peningkatan pelatihan serta pengendalian jam operasional pemilahan (screening).
Keterbatasan penggunaan sejumlah teknologi baru:
Terlepas dari ciri khas tugas-tugas antipencucian uang yang padat karya di perusahaan keuangan, laporan ini menunjukkan terbatasnya penggunaan sejumlah teknologi yang lebih baru pada kalangan perusahaan berskala lebih kecil dan besar di kawasan tersebut.
Kajian ini menunjukkan langkah pengurangan risiko yang dijalankan berbagai perusahaan menjadi faktor pendorong utama untuk tugas-tugas antipencucian uang di antara kalangan lembaga keuangan di Asia Pasifik, namun ada jauh lebih banyak perusahaan Indonesia (78%) yang menempatkannya sebagai faktor utama ketimbang beberapa perusahaan lain di pasar.
"Seiring kian rumitnya aspek pemenuhan regulasi dan adanya peringatan yang lebih banyak, berbagai perusahaan keuangan Asia Pasifik semakin sulit untuk mengikuti perkembangan, mengelola "alarm palsu" (false positive), serta menghindari isu-isu akibat tak menjalani ketentuan," ujar Senior Vice President, US Commercial Markets and Global Market Development, LexisNexis Risk Solutions Thomas C Brown.
Ditambahkannya, teknologi dapat meringankan beban sehingga kalangan perusahaan secara efektif bisa mengelola dampak dari tugas-tugas pemenuhan regulasi antipencucian uang terhadap kegiatan bisnis. Pemanfaatan teknologi tak hanya soal mengelola biaya langsung, namun juga biaya-biaya tak langsung dan biaya peluang yang secara historis sulit diukur, misalnya hilangnya prospek bisnis dan pendapatan masa depan yang berkaitan dengan tertundanya onboarding.(wn)