Maskapai kebanggan nasional, Garuda Indonesia, menjadi percakapan hangat pengguna media sosial (warganet) sepanjang pekan lalu.
Pemicunya adalah bocornya surat pengumuman yang dikeluarkan manajemen Garuda Indonesia pada Selasa (16/7) dengan nomor JKTDO/PE60001/2019 yang ditandatangani oleh Direktur Operasi Garuda Indonesia Capt Bambang Adisurya Angkasa.
Isi pengumuman itu adalah Garuda Indonesia melarang penumpang untuk mengambil foto dan video di dalam pesawat.
Sontak sejak Selasa (16/7) pagi banyak warganet menyayangkan keputusan dari Garuda. Pasalnya, di era digital, melakukan perjalanan dengan menunjukkan eksistensi di media sosial adalah hal yang wajib. Tak hanya itu, sebenarnya bagi brand, aksi selfie atau swafoto itu adalah promosi gratis di dunia maya.
Lantas kenapa Garuda melakukan langkah drastis? Benarkah ada regulasi yang mendukung pengumuman itu?
Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator penerbangan menegaskan urusan larangan selfie adalah kebijakan internal maskapai. Hal yang menjadi perhatian regulator adalah aspek safety dan security.
Sontak warganet menjadi heboh di Selasa (16/7), Tanda Pagar (Tagar) #Garuda pelan-pelan mulai merangsek naik di lini masa dengan konten yang banyak negatif bagi maskapai itu.
Diantara keriuhan, warganet menduga alasan utama Garuda mengeluarkan larangan karena adanya unggahan foto kartu menu kelas bisnis yang hanya ditulis tangan di Instastory akun Instagram @rius.vernandes pada Sabtu (13/7) malam. Beredarnya foto kartu menu kelas bisnis Garuda Indonesia rute Sydney-Denpasar yang diunggah Rius menuai kontroversi.
Dus, suasana mulai panas. Garuda dianggap anti kritik. Persepsi ini makin kuat karena adanya pelaporan Rius Vernandes dan Elwiyana Monica dengan dugaan pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 3 dan/atau Pasal 28 Ayat 1 jo Pasal 45A Ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP oleh karyawan maskapai itu yang tergabung dalam Serikat Karyawan Garuda (Sekarga).
Turbulensi
Sadar reputasi perusahaan masuk "awan turbulensi", manajemen Garuda sepertinya mulai memetakan masalah menghadapi goncangan di dunia maya.
VP. Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan mengeluarkan rilis pada Selasa (16/7) siang.
"Sehubungan dengan beredarnya surat larangan pengambilan gambar di pesawat, bersama ini kami sampaikan bahwa pengumuman tersebut merupakan edaran internal perusahaan yang belum final yang seharusnya belum dikeluarkan dan tidak untuk publik," katanya dalam keterangan. (Baca: Garuda dan Selfie)
Ternyata rilis yang dikeluarkan Selasa (16/7) siang tak berhasil menenangkan pengguna media sosial atau warganet. Bak tsunami, sindiran dan meme tentang kebijakan Garuda ini membanjiri lini massa. Bahkan, sejumlah brand ternama juga memanfaatkan momentum itu melakukan gimmick marketing di media sosial.
Sadar badai belum berlalu, VP. Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan kembali mengeluarkan rilis pada Rabu (17/7). Kal ini isi keterangan tertulis memastikan bahwa penumpang tetap dapat mengambil photo di dalam pesawat seperti swaphoto dan lain lain, namun dengan tetap menjaga kenyamanan dan privasi penumpang lain.
Sementara untuk kasus pelaporan, Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara tampil menjadi "Pahlawan" melalui berdialog dengan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) sebagai pelapor.
"Manajemen sudah meminta Sekarga untuk mencabut laporan di kepolisian dan memastikan case closed dengan semangat kekeluargaan," katanya Jumat (19/7).
Gagap
Belajar dari kasus yang dialami Garuda, ini menunjukkan masih banyak perusahaan yang tergagap berkomunikasi di era digital. Transformasi digital yang menjadi mantra sakti untuk meningkatkan layanan ternyata masih gagal dipahami dan menjadikannya sebagai aksesori menggaet pasar.
Dalam kasus Garuda, terlihat maskapai ini tak siap dengan keluhan pelanggan di saluran digital dan menghadapinya secara "kolonial".
Andai Garuda memandang unggahan dari penggunanya di media sosial sebagai keluhan untuk memperbaiki layanan, sebuah turn around memenangkan hati pelanggan bisa saja didapat maskapai itu.
Kuncinya adalah di level top management harus paham. Di era digital konsumen bisa bersuara lewat saluran mana saja, tanpa harus dilawan dengan "senjata mematikan" untuk mengedukasi pasar.
Customer Experience kini menjadi bagian paling penting dalam strategi pemasaran. Pengalaman adalah tahap utama untuk merebut hati pelanggan. Pada tahap ini, pelanggan tidak sekadar memperoleh informasi maupun janji-janji seperti dalam iklan, tapi pelanggan merasakan dan mengalami sendiri journey menggunakan produk maupun layanan dari sebuah brand.
Jika pelanggan mengekspresikan kekecewaan atau kesenangannya pun tak bisa dikontrol. Ingat, di era media sosial, semua orang menjadi media bagi dirinya.
@IndoTelko