Para pelaku industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kabarnya tengah harap-harap cemas menanti kepastian revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang rencananya akan disahkan jelang tutup tahun ini.
Wacana revisi yang penuh kontroversi bagi pelaku usaha seperti Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) itu sepertinya tak tertahankan lagi untuk disahkan.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan proses revisi terhadap PP PSTE telah dimulai sejak 25 November 2016 setelah disahkannya UU ITE Perubahan atau UU 19/2016. (Baca: Gaduh Revisi PP PSTE)
Kemudian sekitar Mei 2018 pada tahapan pembahasan harmonisasi di Kementerian Kumham ada beberapa masukan dari kementerian/lembaga dan masyakarat. (Baca: Revisi PP PSTE)
Selanjutnya, pada tanggal 22 Oktober 2018, Menkumham menyampaikan draft RPP PSTE yang telah selesai diharmonisasi.
Aksi dari Kominfo ini tak mulus, karena kalangan usaha melakukan perlawanan terhadap isi dari draft RPP Perubahan PSTE terutama soal wacana relaksasi penempatan data center di Indonesia.
Kominfo mengajukan ide relaksasi karena beranggapan kewajiban penempatan data center harus di Indonesia sudah tak sesuai dengan perkembangan teknologi.
Sementara yang menolak mengingatkan isu kedaulatan data yang bisa tergadai jika data center tak wajib ditempatkan di tanah air oleh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Kalangan usaha menyatakan PP PSTE yang ada sudah mendukung kedaulatan data, sehingga hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah membuat aturan turunan, seperti misalnya peraturan menteri untuk memperkuat implkementasi aturan lama tersebut.
Namun, Kominfo tak kehilangan akal. Isi draft yang tadinya mengambil langkah terobosan mengatur Klasifikasi Data Elektronik (KDE) berdasarkan Pendekatan Klasifikasi Data, yaitu Data Elektronik Strategis, Tinggi dan Rendah, kabarnya diubah menjadi mengatur penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan data elektronik di dalam atau di luar wilayah Indonesia.
Kabarnya, dalam versi draft terbaru nantinya hanya data milik penyelenggara sistem elektronik lingkup publik yang diwajibkan berada di Indonesia.
Untuk penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat menempatkan sistem elektronik dan data elektronik di dalam atau di luar wilayah Indonesia.
Kominfo menyatakan data sektor publik merupakan data yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta berasal dari instansi yang menggunakan pelayanan publik, termasuk perusahaan pelat merah.
Data sektor privat adalah data yang meliputi transaksi elektronik antar-pelaku usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen, antarpribadi, antar-Instansi, dan antara Instansi dengan pelaku usaha.
Di dalam revisi aturan tersebut perusahaan multinasional berbasis sistem elektronik seperti Google dan Facebook diwajibkan mendaftarkan diri sebagai penyelenggara sistem elektronik di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tersebut didorong untuk lebih aktif dalam menjaga keamanan konten yang dipublikasikan.
Pemerintah juga berencana memberikan sanksi berupa denda kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran, di mana setiap perusahaan berpotensi dikenakan denda maksimal Rp100 miliar per pelanggaran.
Pemahaman Data
Jika benar draft versi terbaru ini yang akan disahkan, rasanya ada hal yang perlu diingatkan ke Kominfo atau pihak-pihak yang ngotot agar PP PSTE direvisi.
Pertama, dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyambut peradaban baru tersebut dengan mencanangkan Indonesia sebagai Ekonomi Digital terbesar di ASEAN, dan mencanangkan pula Indonesia 4.0 yang merupakan visinya untuk menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai pasar atau konsumen teknologi, namun menjadi negara yang mendapat manfaat besar dari setiap kemajuan teknologi.
Dalam pidatonya itu, Jokowi telah menyatakan pula bahwa “data lebih berharga dari minyak” dan bertekad untuk menjaga kedaulatan atas seluruh data dari kehidupan online Indonesia dan memanfaatkannya untuk menumbuhkan ekonomi nasional.
Data yang bagaimana? Tentunya mencakup general-data alias semua data dari aktifitas internet yang menghasilkan big data. Artinya bukan hanya sekedar data pribadi penduduk atau masalah dibiayai APBN atau bukan.
Lantas bagaimana menjaga kedaulatan data jika infrastruktur tak dikuasai?
Hal lain yang harus diingatkan adalah masalah potensi devisa yang hilang, salah satunya dari trafik internet yang malah kian kencang ke luar negeri.
Berdasarkan penelitian Boston Consulting Group berjudul Dampak Ekonomi Cloud di Asia Pasifik untuk Indonesia, diperkirakan bahwa penerapan komputasi awan publik dapat berkontribusi sebesar US$35 - US$40 miliar untuk Produk Domestik Bruto (PDB) secara kumulatif dari 2019 hingga 2023, atau setara dengan kurang lebih 0,6% PDB tahunan negara.
Bisa dibayangkan, jika data center tak diwajibkan di Indonesia, artinya trafik internet akan lari ke luar negeri untuk mengakses konten.
Kalau begini artinya, sudah kalah di kedaulatan data, kekayaan mengalir pula ke luar negeri.
Lantas revisi PP PSTE untuk siapa?
@IndoTelko