JAKARTA (IndoTelko) – Laporan e-Conomy SEA 2019 yang dilakukan oleh Google dan Temasek pada akhir 2019 menyebut bahwa di Indonesia masih terdapat 92 juta jiwa penduduk dewasa yang belum tersentuh layanan finansial atau perbankan.
Jumlah tersebut lebih dari separuh total penduduk dewasa Indonesia yang mencapai 182 juta jiwa. Dalam kondisi tersebut, kehadiran financial technology (fintech) yang semakin menjamur di Indonesia saat ini nampaknya menjadi angin segar dalam mendukung literasi dan inklusi keuangan di Indonesia, mengingat peranannya dalam memberikan kemudahan akses keuangan lewat pemanfaatan teknologi.
Bahkan, eksistensi fintech saat ini mampu turut menggerakkan roda perekonomian negara. Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI) yang dilakukan akhir 2019 ini menyebut bahwa perusahaan fintech lending diproyeksi berkontribusi Rp 100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2020.
Prediksi itu naik hampir 4 kali lipat dibanding tahun 2018, yang berada di angka Rp 25,97 triliun.
Cepatnya penetrasi pasar yang mampu dilakukan oleh fintech lantas membuat para pelaku fintech semakin mantap untuk memperkuat ekspansi bisnisnya guna memberikan dampak lebih luas bagi sektor keuangan di Indonesia.
Hal ini turut mencuri perhatian dari berbagai investor, termasuk para pelaku di sektor keuangan seperti perbankan konvensional yang turut menyalurkan dananya dan berkolaborasi dengan pelaku fintech. Bahkan, para ekonom memprediksi bahwa tren kolaborasi antara pelaku fintech dan perbankan konvensional di Indonesia akan semakin berkembang karena dapat saling menguntungkan satu sama lain.
“Kehadiran teknologi akan membawa perubahan bagi lanskap bisnis di sektor keuangan saat ini. Pelaku di sektor keuangan pun semakin dituntut untuk mampu memberikan layanan dan produk keuangan yang inovatif, lebih efisien, cepat, mudah, dan memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Melalui adanya kolaborasi yang sejalan antara fintech dan perbankan dengan berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat akan menciptakan iklim sektor keuangan Indonesia yang kondusif. Selain itu, melalui kolaborasi yang terjalin, baik fintech dan perbankan dapat lebih memperkuat dan memaksimalkan perannya dalam memperluas akses keuangan bagi masyarakat,” ungkap Komisioner Kredivo Umang Rustagi.
Lebih lanjut, berbagai tantangan mungkin dihadapi oleh pelaku fintech di Indonesia yang hendak menjajaki kolaborasi dengan perbankan. Selain kredibilitas fintech yang menjadi faktor pertama dalam proses integrasi dengan perbankan, kemampuan manajemen risiko yang dilakukan oleh fintech juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi para perbankan yang ingin berkolaborasi dengan fintech. Fintech yang mampu mengelola manajemen risiko dengan baik tentunya akan meminimalisir indeks kredit macet, sehingga akan memberikan nilai tambah bagi performa bisnis perbankan.
Namun, tantangan tersebut bukan tidak dapat diatasi. Sejak beberapa tahun belakangan, berbagai fintech di dunia telah berhasil melalui tantangan tersebut dan mampu menjalin kolaborasi dengan perbankan. Pada 2016, Santander UK Bank telah berinvestasi pada platform peminjaman online - Kabbage, untuk memberikan pinjaman jangka pendek kepada UMKM di Inggris.
Melalui kolaborasi tersebut, memungkinkan Santander untuk mengurangi waktu yang diperlukan dalam mencairkan pinjaman menjadi hitungan jam dari rata-rata 2-12 minggu yang dihabiskan saat itu. Selain itu, di 2018, kolaborasi juga dilakukan oleh American Express dan GreenSky (perusahaan teknologi yang fokus pada sistem point-of-sale) untuk meningkatkan sistem pembayaran digital dan kemampuan pembiayaan guna membantu merchant mengembangkan bisnis mereka, sekaligus memberikan konsumen berbagai pilihan pembayaran berbasis digital dengan mudah.
Semakin banyaknya kolaborasi yang terjalin antara perbankan konvensional dengan fintech, dapat menjadi sinyal positif bahwa melalui kolaborasi tersebut, kedua belah pihak dapat saling melebarkan eksistensinya di sektor keuangan, tentunya dengan pendekatan konsumen berbasis digital.
Berikut merupakan 2 nilai tambah utama dari adanya kolaborasi antar perbankan konvensional dan pelaku fintech:
1. Menggabungkan keahlian untuk menjangkau basis pengguna dan konsumen yang lebih luas. Bank memiliki diferensiasi segmen konsumen dan pangsa pasar yang sangat besar di seluruh penjuru wilayah, namun masih menghadapi beberapa kendala untuk melayaninya; salah satunya akibat kurangnya data dan sistem verifikasi identitas yang berkualitas. Sementara itu, fintech mampu berinovasi dengan memanfaatkan teknologi untuk memverifikasi calon nasabah dengan cepat dan mudah. Ketika menggabungkan keduanya, mereka tidak hanya dapat memaksimalkan pangsa pasar yang dimiliki bank, tetapi juga memanfaatkan kemampuan fintech untuk menghadirkan produk dan layanan finansial yang sesuai bagi pasar tersebut dengan sangat cepat.
2. Meningkatkan performa bisnis dan kemampuan inovasi teknologi. Bank dapat menggunakan keunggulan mereka dalam hal stabilitas keuangan untuk mendukung startup fintech. Hal ini memberikan kemampuan finansial yang sangat dibutuhkan para startup untuk menghadirkan berbagai inovasi yang mampu menjawab tantangan dan menjadi solusi di sektor keuangan saat ini. Di lain sisi, keahlian dalam hal inovasi teknologi yang dimiliki oleh fintech mampu memberikan nilai tambah bagi bank untuk meningkatkan kapabilitas dalam hal teknologi.
“Disrupsi di sektor keuangan dapat diimbangi dengan meningkatkan kolaborasi industri melalui produk dan layanan inovatif. Kolaborasi antar perbankan dan pelaku fintech dalam bentuk apapun dapat memberi manfaat bagi kedua belah pihak, karena mampu mempertahankan pertumbuhan pangsa pasar jangka panjang, menjangkau basis konsumen lebih luas, meningkatkan pengalaman serta kepuasan konsumen, serta yang terpenting turut kontribusi pada peningkatan roda perekonomian negara,” tutup Umang.(ak)