Tak terasa kader partai Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny Gerald Plate akan memasuki 100 hari kerja sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 pada Januari ini.
Pria yang akrab dipanggil Johnny itu sejak dilantik Oktober 2019 bisa dikatakan belum memiliki gebrakan yang berarti hingga minggu pertama Januari 2020 sebagai regulator bagi industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Sejak dilantik, Johnny terkesan bermain "aman" dengan berkomitmen meneruskan program yang sudah dijalankan pendahulunya, Rudiantara, tanpa ada keinginan untuk mengkoreksi.
Memang, beberapa program dari Rudiantara kala menjadi Menkominfo di periode 2014-2019 ada beberapa yang patut diapresiasi, tetapi melihat kondisi terkini di lima tahun mendatang, rasanya layak Johnny berani mengkoreksi agar ada insentif dan stimulus bagi industri TIK.
Kondisi
Di sektor Halo-halo, studi Moody’s Investor Service memperkirakan bisnis seluler di Indonesia akan tumbuh 5%-6% di tahun 2019 – 2020.
Bisnis seluler dianggap mulai pulih juga ditunjukkan dengan kembali agresifnya operator mengembangkan jaringan 4G dan persaingan harga layanan data yang masih marak.
Tantangan bagi pebisnis seluler adalah jika penerapan peraturan baru tentang pendaftaran identifikasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) ponsel dijalankan di tahun 2020.
Johnny harus bisa membaca situasi ini dengan cermat karena sektor telekomunikasi adalah salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi.
Jika memaksakan penerapan validasi IMEI ponsel tanpa melihat kondisi di pasar, bisa saja aturan ini menjadi disinsentif di tengah situasi makro ekonomi yang tak menentu di tahun 2020.
Sementara di bisnis konten, belum adanya kepastian hukum dan perlakuan yang sama antara Over The Top (OTT) asing dan lokal akan terus menjadi bahaya laten bagi industri TIK.
Johnny harus berani mengeluarkan aturan soal OTT yang mengatur kewajibannya agar ada perlakuan yang setara dalam berbisnis.
Terakhir, Johnny harus berani mengevaluasi model bisnis yang dikembangkan Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dimana telah menjelma sebagai pesaing dari operator telekomunikasi dalam penyediaan layanan komunikasi di area Universal Service Obligation (USO).
Dalam Undang-Undang No 36/9 tentang Telekomunikasi dinyatakan wilayah USO adalah wilayah yang secara ekonomis kurang menguntungkan. Maka itu, dibangun secara gotong royong dengan iuran dana 1,25% dari gross revenue semua penyelenggara telekomunikasi.
Dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi khususnya Pasal 16 sangat jelas disebutkan bahwa operator telekomunikasi harus membangun di daerah USO. Pembangunan sarana dan prasaran telekomunikasi di daerah USO merupakan kewajiban operator penyelenggara jaringan telekomunikasi. Operator telekomunikasi diberi kebebasan untuk memilih kontribusi dengan membangun serta menyediakan sarana dan prasarana atau kompensasi lainnya.
Redesain model bisnis untuk daerah USO ini harus berani dilakukan Johnny agar lebih terjamin kontinuitas layanan bagi masyarakat di daerah tersebut.
Harap diingat, jaringan telekomunikasi nasional adalah dasar terbentuknya internet yang menjangkau dan melayani seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa ada keberanian melakukan inovasi, maka ICT Index dari Indonesia tak akan banyak berubah di masa depan.
@IndoTelko