JAKARTA (IndoTelko) - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengusulkan adanya Undang-undang (UU) yang mengatur industri fintech.
"Fintech P2P Lending saat ini hanya memiliki perangkat aturan OJK, akan ditingkatkan lagi dalam bentuk UU seperti layaknya jasa keuangan lain seperti perbankan, asuransi, multifinance yang sudah memiliki UU jasa keuangan terkait industrinya masing-masing," kata Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko dalam keterangan kemarin.
Sunu melanjutkan, selain kebutuhan akan UU yang melindungi pemain Fintech, juga perlu segera terbit UU data privasi karena saat ini adalah era digital, supaya memberikan rasa kepercayaan kepada user yang menggunakan layanan keuangan digital.
"Kita juga butuh akses data dukcapil biometric yakni untuk kecepatan layanan, maupun verifikasi dibutuhkan interkoneksi yang baik," katanya.
Berdasarkan data OJK hingga November 2019, total penyaluran pinjaman dari Fintech Lending mencapai Rp 74 triliun, meningkat 228% secara year to date (ytd). Rekening lender (pemberi pinjaman) juga meningkat 185,13% menjadi 591.662 entitas. Begitu juga rekening borrower (peminjam) bertambah 295,58% menjadi 17.244.998 entitas.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan pertumbuhan ekonomi (GDP) Indonesia saat ini 60% adalah dari sektor UMKM, hampir 95% penyerapan tenaga kerja juga dari sektor UMKM. Namun terjadi gap terhadap akses keuangan dan kolateral di ekosistem petani, sehingga hidup petani sulit untuk menjadi makmur.
“Disinilah Fintech Peer to Peer (P2P) Lending hadir untuk menyalurkan pinjaman bagi masyarakat yang belum tersentuh lembaga keuangan informal seperti perbankan atau unbanked yang kebanyakan adalah pelaku UMKM termasuk petani,” kata Hendrikus.
Dengan kemajuan teknologi, saat ini sudah ada 164 perusahaan penyelenggara Fintech Lending yang terdaftar dan 25 berizin OJK dan menjadi anggota AFPI. Kini industri fintech lending telah mengisi financial gap sebesar Rp 74 triliun dari kebutuhan Rp 1.000 triliun.(ak)